"Eh... lo tau, nggak, Tink? Masa si Sherina tega sama gue! Masa, nih, ya pas nyari pita bareng, dia nyuruh gue manjat pohon? Katanya gue cowok, so udah sewajarnya gue yang manjat. Masalahnya, udah dibilangin takut ketinggian, ehhh... dia-nya nggak percaya. Emang siapa juga, sih, yang mau punya fobia sama ketinggian? Dia aja yang belum nyoba berada di posisi gue!" Jemmy curhat panjang lebar ketika semua sudah kembali ke bus untuk pulang.
"Heh, Jemmy! Jangan kira gue nggak denger lo ngatain di belakang, loh, ya! Gue denger, loh!" teriak Sherina dari depan, tepatnya posisi gadis itu berada di arah jam dua.
Formasi duduk mereka kini berubah. Tinky malah merasa ini jauh lebih baik demi kepentingan bersama. Sherina tentu mengekor Ray, sedangkan Jemmy memilih duduk di sebelah Tinky.
"Eh, iya. Kayaknya kaki lo lagi luka, ya? Soalnya tadi kayak agak timpang gitu pas gue lihat dari jauh," tanya Jemmy sambil mencuri pandang ke bawah kursi.
"Iya, sempat jatuh, tapi udah agak baikan kok." Entah mengapa kalimat tadi memberikan kesan yang ambigu. Oleh sebab itu, dia mendengkus sinis, menertawakan dirinya yang sangat bodoh karena rela menanggung semuanya sendirian.
Bodoh karena masih menyukai Ray sampai sekarang. Juga... bodoh karena memilih tidak jujur dan menutupi kebenaran, padahal dia berhak mengatakan yang sebenarnya.
Tinky membuang pandangannya ke jendela, berpura-pura sedang menikmati pemandangan walau sejujurnya, tidak ada yang bisa diharapkan dari kegelapan malam di luar sana sebab senja telah berlalu. Efek mabuk seharusnya bereaksi lebih cepat dengan menoleh ke samping seperti ini, tetapi menurutnya, jika efek pusing bisa mengalihkan rasa sakit di hatinya, dia lebih bersedia berlama-lama menatap ke luar jendela.
*****
Hari sudah malam sepenuhnya sewaktu mereka sampai di sekolah sehingga Tinky tidak menolak saat Jemmy menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.
Sama halnya dengan Sherina meski dalam situasi yang berbeda. Cewek itu meminta tolong kepada Ray untuk ikut bergabung di mobilnya. Tawa riang yang menyusul setelahnya segera memberitahu orang-orang di sekitar bagaimana dia mendapat tanggapan yang positif dari calon tunangannya itu. Mobil tersebut melesat mulus menembus jalanan yang masih padat, melewati Tinky dan Jemmy yang berjalan menuju area parkir mobil yang mana supirnya sudah menunggu.
"Lo kenapa, Tink? Kok, kayaknya sedih banget. Apa ada sesuatu yang terjadi antara lo sama Ray?"
Tinky berusaha tersenyum meski ekspresinya malah semakin payah seolah-olah sedang dipaksa mencicipi makanan yang sebenarnya tidak layak dimakan. "Hmm... nggak ada, kok. Cuma lelah aja."
"Come on, Tink. You can share with me. I'm your Peter Pan, right?"
"Yeah, you're Peter Pan. If I'm the Tinkerbell, who will you choose; me or Wendy?"
Jemmy tampak tidak paham, tetapi dia berusaha mengikuti alur yang dibawa oleh Tinky. "As I know, Peter Pan is human like Wendy, right? So, there'll be a fine relationship between them. Tinkerbell may be a real good friend for him, but we all know they can't be together. That would never happen."
Jemmy kemudian menyadari bahwa apa yang diduganya benar setelah melihat ekspresi Tinky yang seakan wajahnya sedang ditampar.
Sebuah ingatan mampir ke dalam pikirannya, ketika dia sedang bersama Sherina sewaktu mencari pita di area yang rupanya tidak jauh dari posisi Ray dan Tinky berada.
"Gue sama sekali nggak tertarik sama perlombaan ini. Kalo lo mau lanjut... ya, terserah lo. Gue mau nyari Ray aja," ujar Sherina sebelum berbalik, tetapi Jemmy spontan menahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheer Up, Tinkerbell! [END]
Подростковая литератураPlease vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance (40%), Angst (60%) Namanya Tinky, tetapi tidak seberuntung Tinkerbell yang bisa terbang hanya dengan segenggam debu pixie. Namanya hanya akan memancing cemooh dari siapa saja yang mend...