Part 20

39 22 15
                                    

Ray mengetuk pintu VVIP yang mana terdapat keterangan 'Sherina Monarf' sebelum masuk. Pasien yang dimaksud rupanya sedang duduk di atas brankar dan melakukan percakapan lewat ponsel, tidak sadar akan kehadirannya.

"Iya, Mami. Aku nggak masalah, kok, sendirian. Besok udah boleh pulang. Mami tenang aja," ujar Sherina menenangkan, padahal ekspresinya yang sama sekali tidak sinkron. Ray bisa mengetahuinya dari embusan napas yang diam-diam ditunjukkan. Gadis itu terlihat lelah dan kentara sekali sedang tidak bersemangat.

Terdengar jeda sejenak sebelum Sherina memutuskan pembicaraan. Tatapannya baru sampai pada Ray saat dia meletakkan ponsel di atas nakas, yang letaknya menghadap pintu. Gadis itu lantas tersenyum, tetapi senyuman tersebut jelas dipaksakan.

"Sori, gue baru tau lo dirawat di rumah sakit juga," kata Ray membuka pembicaraan.

"Nggak apa-apa. Duduk, Ray."

Ray menempati kursi sebelah brankar sementara Sherina menyisir rambutnya dengan tangan, berusaha merapikan. "Thanks, ya, udah mau jenguk."

Ray mengangguk. "Sebenarnya ada yang mau gue omongin sama lo."

"Gue udah denger. Katanya sepupu lo, si Gea yang rencanain itu, 'kan? Gue nggak bakal biarin dia lepas begitu aja. Tenang aja, Ray, Papi punya relasi dengan kepala kepolisian, jadi Gea nggak bisa ngeles."

Sherina benar-benar mempunyai indera keenam yang kuat karena berusaha mengalihkan pembicaraan. Tak henti-hentinya dia mencari topik supaya Ray tidak mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya.

"Gue baik-baik aja, kok. Nggak usah cemas. Besok gue udah boleh pulang. Ohya, gue mau sampaikan pesannya Papi sama Mami. Setelah semuanya udah membaik, Papi-Mami mau ngajak lo sekeluarga buat makan bareng soalnya gara-gara kejadian kemarin, acara kemarin jadi terunda. Kita—–"

"Sher, gue mau ngomong hal penting dan sebelumnya gue mau minta maaf," potong Ray sementara Sherina tampak gelisah.

"Hmm... apa lebih penting dari acara pertunangan kita?" tanya Sherina, berusaha tersenyum meski sia-sia saja karena firasat buruk yang semakin kuat dirasakannya.

"Gue minta maaf sama lo, tapi kayaknya gue nggak bisa lanjutin pertunangan kita," ucap Ray tegas. "Setelah kejadian malam itu, gue akhirnya sadar akan sesuatu."

Kali ini, tatapan Sherina mengabur karena daya tampung di pelupuk matanya sudah mulai penuh. Meskipun demikian, dia masih berusaha membalas tatapan Ray. Juga, gadis itu berusaha berpikir positif kalau apa yang ingin dikatakan Ray mungkin saja adalah sesuatu yang baik untuknya.

"Sadar... apa?" tanya Sherina pelan, hampir berbisik.

"Gue sadar itu semua hanya akan membuat lo terluka. Gue nggak mau seperti bokap yang akhirnya harus berpisah dengan wanita yang dia cintai, trus menikah dengan wanita yang dijodohkan oleh kakek-nenek gue."

"Tapi," kilah Sherina dengan nada santai seakan ini bukan perkara yang besar. "Bukannya banyak juga yang pada akhirnya saling mencintai, 'kan? Kita mungkin juga bisa kayak gitu, Ray. Gue tau di hati lo nggak ada ruang sama sekali buat gue, tapi lo bisa berusaha asal lo mau. Seperti gue yang awalnya nggak menginginkan perjodohan ini, tapi rupanya gue sekarang jadi suka sama lo. Lo pasti bisa kayak gue, 'kan?"

"Maaf, Sher, gue nggak bisa," ucap Ray dengan penekanan tiap kata yang sarat akan ketulusan. "Jujur aja, gue suka sama Tinky. Lo udah tau itu."

"Bukankah kita udah membicarakan ini kan, Ray? Lo tau dengan jelas kalo kalian berdua itu nggak mungkin! Kalian punya hubungan darah dan hanya karena Tinky mengorbankan dirinya buat ditusuk menggantikan lo—–"

"Tinky bukan saudari tiri gue. Gue baru tau kebenarannya. Semuanya. Termasuk apa yang selama Tinky lakukan buat gue. Gue yang jahat sama dia. Itulah sebabnya, gue nemuin lo buat jujur sebelum semuanya terlambat. Gue—–"

"Tapi ini udah terlambat bagi gue, Ray," potong Sherina dengan nada merana sekarang. Air matanya tumpah satu-satu sebelum membanjir dengan kecepatan yang tidak bisa dikendalikan. "Bagi lo mungkin belum terlambat, tapi gue udah suka sama lo! Apa yang harus gue lakuin sekarang?"

"Setidaknya kita belum menikah, Sher. Juga... pertunangan kemarin belum resmi. Gue belum memasangkan cincin ke jari lo."

"Ray, plis...." Sherina memohon. Cewek itu menggenggam erat tangan Ray, mengharapkan belas kasihan. "Tolong... jangan gini ke gue...."

"Maaf, Sher. Seumur-umur, gue pernah mempunyai keinginan kuat kayak gini dan sekarang... gue bahagia karena punya satu, yaitu membahagiakan Tinky. Gue harap lo akan menemukan cowok yang mempunyai harapan itu juga. Yang benar-benar mencintai dan tulus menyayangi lo sepenuh hati."

Sherina menutup wajah dengan kedua tangan dan menangis. Jejeritannya terdengar pilu hingga Ray seolah-olah terjangkit karena netranya juga berkaca-kaca. Lantas, pada akhirnya dia memutuskan untuk membiarkan gadis itu sendirian.

Tidak lupa, dia memberi pesan kepada perawat untuk sering mampir dan mengawasi Sherina.

*****

Ray kembali ke ruangan di mana Tinky berada, dan apa yang dia lihat membuatnya cemburu berat karena Tinky dan Jemmy tampak terlalu akrab untuk disebut sebagai sahabat. Keduanya duduk terlalu dekat satu sama lain. Jemmy sepertinya sedang memainkan permainan dari ponsel dan Tinky menonton di sebelahnya.

Ray menarik ponsel Jemmy secara paksa sehingga keduanya tampak kaget. "Lo harus pulang, udah malem."

Perintah itu ditujukan pada Jemmy yang tersenyum miring setelah mendengarnya.

"Lo yang pulang aja deh, Ray. Jemmy masih mau di sini soalnya," balas Tinky balik.

"Gimana mungkin lo membiarkan cowok asing berduaan sama lo di malam hari?" protes Ray dengan nada kesal.

"Biar gue perjelas," kata Jemmy dengan nada sedikit sok. "Gue udah punya kualifikasi atas itu."

"Kualifikasi?" tanya Ray dengan nada meremehkan. "Apa maksudnya?"

"Karena gue udah resmi pacaran sama Tinky," Jemmy sengaja menekankan setiap katanya dengan nada puas. Cowok itu bahkan memberikan jeda selama beberapa saat dengan menatap Ray lekat-lekat, jelas pamer dengan pengakuannya.

Mata Ray membelalak ketika mendengarnya dan spontan mengalihkan tatapan ke Tinky dengan kecepatan agak berlebihan hingga otot lehernya menegang. "Sejak kapan?"

Tinky menaikkan sebelah alis, seolah-olah Ray sedang mempertanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. "Memangnya cuman lo aja yang berhak punya pasangan? Gue juga berhak dan gue rasa gue nggak perlu minta izin apakah gue boleh punya pacar atau nggak."

"Perlu, Tink. Perlu dan harus minta izin gue karena apa pun yang lo lakuin harus seizin gue!" perintah Ray dengan nada otoriternya lagi.

Tatapannya tajam dan Ray sangat serius ketika mengatakan hal itu. Jemmy yang pertama mengendalikan perasaan dan berdiri untuk berhadapan dengan Ray. Dalam hal ini keduanya tampak gagah karena tinggi badan mereka yang menjulang. "Tolong jangan permainkan perasaan Tinky, Ray. Bukannya hubungan kalian sebatas saudara seayah? Trus kalau lo lupa, lo udah punya tunangan. Lo perlu bertanggung jawab atas itu."

Ray menoleh pada Jemmy. Jika diilustrasikan dalam kisah komik, pastilah di antara mata mereka terjalin aliran listrik yang berbahaya. "Gue udah batalin pertunangan gue sama Sherina. Makanya, tadi gue nemuin dia karena udah mengutarakan semuanya sebelum terlambat. Gue nggak mau meresmikan hubungan dengan cewek yang nggak gue sukai."

Baik Jemmy maupun Tinky memasang ekspresi syok sekarang. Bagaimana mungkin cowok itu tega dengan Sherina yang baru saja memulihkan fisiknya dari pingsan kemarin?

"Ohya, satu lagi, Jem. Kalo lo belum tau, gue kasih tau sekarang. Gue dan Tinky nggak ada hubungan darah karena dia bukan anaknya Tante Bella, yang sekarang statusnya adalah mama tiri gue. Penjelasan gue kayak gini... lo bisa ngerti maksudnya, 'kan? Maksud gue, lo bisa pergi sekarang karena selama Tinky belum sembuh, gue yang bertanggung jawab atas dia. Bisa dibilang, gue sedang melunaskan utang budi."

Tinky akhirnya sadar penyebab Ray lebih lembut padanya sejak dia siuman. Lantas sekarang, apa yang harus dia lakukan?


Bersambung

Cheer Up, Tinkerbell! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang