Pintu berbahan solid diketuk beberapa kali sebelum bagian gagang yang berlapis emas bergerak sebagai pertanda ada yang masuk. Jika ditilik dari penampilannya, dia pastilah sekretaris dari pemilik ruangan itu.
Benar saja, sekretaris tersebut membungkuk sebelum berkata, "Maaf mengganggu, Pak. Pak Raphael ingin menemui Anda."
Kursi berpunggung tinggi yang sejak awal menghadap sekretaris, kini berputar dan menunjukkan rupa pemiliknya. Meski terlihat lelah dari wajahnya yang pucat, beliau tetap mengangguk untuk memberi izin.
Brayden Nathaniel menegakkan punggung dan memangku kedua siku di atas meja gigantisnya yang mewah selagi Kevin Raphael masuk. Ekspresinya sangat tidak puas dan wajahnya memerah karena berusaha meredam amarah, tetapi pria itu tidak berani langsung mengutarakannya sebab walau bagaimanapun, Brayden adalah atasannya dan paling berpengaruh dalam konglomerasi ini.
"Oh, Kevin. Ada apa ke sini?" tanya Brayden, memilih untuk bersikap profesional. Meski anak perempuannya telah terbukti merencanakan pembunuhan atas anak tunggalnya, Ray, pria itu berpikir akan sangat tidak etis jika ikut menyalahkan Kevin sebab yang bersalah adalah anaknya.
"Soal Gea, apakah nggak ada yang bisa kamu lakukan untuk membantunya? Aku bersumpah nggak akan membiarkan Gea berada di dekat Ray jika diperbolehkan bebas."
"Seharusnya sudah sedari awal kamu melakukan itu," kata Brayden dingin, mulai mengerti ke mana arah topik Kevin bermuara. "Apa perlu aku sebutkan apa saja niat kamu selama ini? Aku melewatkan semuanya begitu aja karena dipikir-pikir—–walau gimanapun juga—–kamu adalah adik iparku atau lebih tepatnya adik kandung Leyna!"
Brayden berdiri spontan dan mencondongkan tubuhnya dari atas meja dengan menumpu kedua tangan untuk menatap Kevin tajam. "Kalau aku tahu bakal begini jadinya, aku nggak akan mau mengasihani keluarga kalian! Setidaknya kamu harus bersyukur karena hanya Gea yang aku penjarakan!"
"Aku hanya menginginkan warisan yang ditinggalkan Leyna untukku, apa aku salah?" tanya Kevin yang tidak merasa bersalah sama sekali. "Kekayaanmu jauh berkali lipat dari warisan itu, kalau kamu nggak nyadar! Seharusnya bukan begini sikap seorang kakak ipar! Perusahaanku sedang berada dalam bahaya kalau aku tidak bertindak!"
"KEVIN! Ini bukan semata-mata karena jumlah warisan itu yang aku rebutkan!" hardik Brayden, emosinya memuncak. Sekilas garis wajahnya persis seperti Ray ketika sedang marah. "Itu karena kalian merebut sesuatu yang bukan milik kalian! Sikap tamak itu tidak akan berakhir bahkan setelah kalian mengambil warisan itu! Menyerahlah, Kev. Perusahaan itu juga akan bangkrut pada akhirnya. Aku sudah pernah memperingatkanmu sebelumnya, hanya saja kamu sama keras kepalanya dengan Leyna."
"Perusahaan itu sama pentingnya seperti kamu mempertahankan wanita bernama Bella yang sekarang menjadi istri kamu!" teriak Kevin yang juga emosi. "Di mana harga diri kamu sebagai penerus Nathaniel Group? Kalau orang tuamu masih hidup pastilah mereka akan kecewa dengan apa yang kamu lakukan sekarang!"
Brayden menyeringai. "Memangnya apa hubungan Bella dengan apa yang kita bicarakan sekarang?"
"Tentu banyak hubungannya! Kalau saja Leyna masih hidup, kamu nggak mungkin bisa memanfaatkan situasi ini! Ya, 'kan?"
"Sebaliknya," timpal Brayden, sekarang nada bicaranya terdengar semakin datar. "Kalau Leyna masih hidup, pasti aku yang akan mati. Itulah rencana yang kalian susun sebenarnya. Jangan kira aku nggak tahu, Kev, karena sedari awal kalian sudah mengatur pernikahan aku dengan Leyna. Aku baru sadar alasan mengapa Papa bisa merencanakan perjodohan ini tanpa iming-iming yang jelas. Rupanya ini akal-akalan yang kalian ciptakan sampai-sampai Papa tercuci otaknya.
Kalau mau membahas tentang penderitaan, akulah korbannya," lanjut Brayden sembari memutari mejanya untuk menjangkau Kevin. "Selama hampir 17 tahun aku harus hidup bersama wanita yang tidak kucintai sama sekali. Kalau kamu belum tau, Leyna juga sebenarnya tidak mencintaiku. Dia hanya mencintai diri sendiri dan harta demi keluarganya."
Kalimat terakhir Brayden sampaikan dengan suara pelan, lebih mirip bisikan. Kevin tampak seperti habis ditampar dan warna di wajahnya segera berubah menjadi pucat.
"Kamu pasti berharap aku mengasihanimu dan sekarang kamu tidak menyangka kalau ternyata aku tahu rencana busuk kalian sedetail itu," kata Brayden. "Walau aku nggak mencintai Leyna, tapi hidup bersamanya tetap membuatku aware dengan karakternya. Aku nggak tahu apakah aku sepintar itu atau Leyna yang terlalu tamak. Yang jelas, aku udah benar-benar muak dengan kalian semua. Makanya seperti yang kubilang tadi, Gea seharusnya bersyukur karena hanya dia yang dipenjara."
Kevin terdiam, tetapi tertawa keras pada detik berikutnya, membuat Brayden kesal. Tentu, dia sengaja melakukannya untuk memancing emosi kakak iparnya.
"Apa kamu mau denger kebenaran yang lebih mengejutkan? Ini ada kaitannya dengan orang tuamu yang berharga."
"Maksud kamu?"
Kevin mengangguk sambil menyeringai puas. "Yang kamu bilang itu benar; watak keras kepalaku persis Leyna, begitu juga dengan ketamakan kami. Jadi... seharusnya seorang Brayden Nathaniel yang pintar bisa menebaknya. Itulah sebabnya kami bisa bertahan dalam konglomerasi ini meski kami jauh dari kata menang. Ada banyak hal yang harus dikorbankan kalau ingin bertahan, bukan? Bahkan manusia harus jadi kanibal kalau mau hidup."
"Apa jangan-jangan... kamu yang membunuh orang tuaku?" tanya Brayden pelan meski ada keyakinan dalam praduga itu.
Kevin terkekeh. Tawanya terdengar mengerikan selagi tertawa puas atas ekspresi Brayden. "Bingo. Tepat sekali. Hebat, 'kan? Bahkan seorang Brayden Nathaniel tidak mengetahui hal itu. Tapi sayang sekali, Bray, karena ada hal yang jauh lebih penting daripada meratapi kematian orang tuamu yang sudah lama meninggal itu. Mau nangis darah pun sudah tidak ada gunanya lagi. Kalau aku jadi kamu, aku akan fokus dengan apa yang terjadi untuk yang sekarang dan ke depannya."
Brayden mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
Gantian Kevin yang memasang senyum seringainya. "Sekarang kamu yang milih; turuti semua kemauan aku atau Ray yang terkena imbasnya."
Brayden tidak pernah seguncang ini usai mendengar ancaman dari Kevin Raphael karena ini berhubungan langsung dengan anak semata wayangnya, Ray Nathaniel. Selama ini, semua orang yang berusaha menjatuhkannya tidak pernah sekali pun mengaitkan Ray sebagai imbasnya.
Kini, dia harus mendengar ancaman dari mulut Kevin yang sedang berdiri di hadapannya, tidak lupa dengan senyum miringnya yang menyebalkan.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan Ray?" tanya Brayden, secara tidak sadar tangannya telah meremas bagian kerah Kevin dengan tatapan penuh amarah. "Ini urusan kita berdua, mengapa harus Ray yang jadi imbasnya?"
Kevin menahan tangan Brayden yang meremas kerah kemejanya dan bertingkah seolah mantan suami kakaknya bersikap terlalu berlebihan. "Tenang, Bray. Kita masih bisa bicarakan ini baik-baik. Tenang saja. Anak kamu beruntung, kok. Buktinya, dia bisa selamat dari tusukan itu meski... aku nggak bisa jamin pacarnya akan terus menolongnya. Namanya Tinky, 'kan?"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheer Up, Tinkerbell! [END]
Teen FictionPlease vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance (40%), Angst (60%) Namanya Tinky, tetapi tidak seberuntung Tinkerbell yang bisa terbang hanya dengan segenggam debu pixie. Namanya hanya akan memancing cemooh dari siapa saja yang mend...