Author's Note
Buat kalian yang udah baca sampai part ini, terima kasih sekali. Saya senang banget kalian mau ngikutin cerita saya sampai tamat, bahkan buat kalian yang udah dari awal ngikutin cerita saya, terima kasih banyak 😭.
Senang akhirnya bisa sampai di tahap ini. Saya nulis cerita memang karena hobi, tapi nggak munafik semua akan terasa sempurna jika punya pembaca setia, terutama kalian yang enjoy sama cerita aku ❤️.
Semoga saya bisa terus menerbitkan karya-karya berkualitas lainnya dan pastinya cocok sama kalian. Sekali lagi, terima kasih.
*****
"Apa ini nggak terlalu berlebihan, Ray?" tanya Tinky dengan kening berlipat. Dia baru saja disuguhi sekotak besar berisi gaun yang terlalu indah yang belum pernah dikenakannya seumur hidup, kemudian seolah tidak cukup dengan itu, Ray memberinya kotak segi empat lainnya.
"Buka aja," perintah Ray dengan cengiran lebar.
Tinky menurut dan ekspresinya tidak kalah terkejutnya dengan ekspresi pertama saat membuka kotak sebelumnya. Isinya adalah sepatu berwarna senada dengan gaun perak tadi dengan glitter yang sama pada bagian body-nya seolah-olah sepatu berhak tinggi itu memang diciptakan untuk memadankan gaun tersebut.
"Ray, kayaknya ini memang berlebihan," protes Tinky. "Yang bertunangan nanti malam itu Sherina Monarf, bukan gue. Gaunnya malah lebih persis kayak gaun pengantin aja."
"Memangnya kalau ini beneran ngajak lo nikah, lo mau?" tanya Ray dengan tatapan jenaka.
Tinky spontan memukul lengan Ray dengan kesal. "Bukan itu maksud gue! Pokoknya, ini berlebihan."
"Kenapa memangnya? Pokoknya gue mau lo pakai buat malam ini. Biarin apa kata orang. Kan, gue yang beli, bukan mereka. Duit, ya, duit gue."
"Tapi, ya... nggak usah kayak gitu juga kali. Seperti yang tadi gue bilang, yang punya acara itu Sherina sama Jemmy. Kalau gue pake ini, apa nggak merusak momennya mereka? Lagian nanti gue malah disangka pamer, lagi."
"Memang pamer, kok. Gaun sama sepatunya memang didesain khusus oleh desainer ternama dan hanya satu-satunya di dunia kalau lo mau tahu."
Tinky terperangah. Mulutnya terbuka lebar secara otomatis. "Lo kok berlebihan banget, sih, hanya untuk gaun sama sepatu doang?"
Ray menyeringai, meski setelahnya, senyum bahagia tidak lepas dari bibirnya. "Lo hanya perlu percaya sama gue."
Tinky mengernyitkan dahinya. "Apa hubungannya kepercayaan sama gaun dan sepatu?"
"Pokoknya percaya sama gue. All you need is a little faith, trust, and pixie dust."
"Lo tahu kutipan dongeng Tinkerbell?" tanya Tinky dan bisa dibilang, dia tidak sadar menanyakannya pada Ray dengan semangat yang agak berlebihan. Situasinya cukup logis sebab Ray bukan tipikal cowok yang suka atau tertarik dengan cerita dalam dongeng.
"Of course, since my girlfriend is Tinkerbell and she likes Peter Pan that much," gelak Ray. "Meski acaranya masih 4 jam lagi, gue mau lakuin ini ke elo sekarang."
"Lakuin apa?"
Ray beranjak dari duduknya yang semula bersebelahan dengan Tinky, lantas mengeluarkan sepatu dari kotaknya. Sepatu tersebut kemudian dia letakkan di dekat kaki Tinky sebelum memasangkannya pada kedua kaki gadis itu.
Tinky masih bungkam. Bisa jadi, dia terlalu kaget untuk mengatakan sesuatu apalagi berkomentar karena terlihat dari ekspresi wajahnya yang seperti terpana dengan sepatu yang sudah melekat di kakinya. Sekilas terlihat kalau dia jauh lebih tertarik dengan sepatu itu daripada yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheer Up, Tinkerbell! [END]
أدب المراهقينPlease vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance (40%), Angst (60%) Namanya Tinky, tetapi tidak seberuntung Tinkerbell yang bisa terbang hanya dengan segenggam debu pixie. Namanya hanya akan memancing cemooh dari siapa saja yang mend...