Part 29

37 19 6
                                    

Pintu kamar Ray diketuk dari luar, berhasil mengalihkan atensi si pemilik yang secara spontan melangkah untuk membukakan pintunya. Brayden berdiri di luar, menyunggingkan senyum tipis.

Meski canggung, Ray membalas senyuman itu.

Brayden mungkin hampir tidak pernah mengunjungi kamar anak tunggalnya dan pria itu baru sadar kalau ternyata seperti inilah situasi dalam kamar Ray. Jujur saja, ada rasa penyesalan yang menghinggapinya. Jika saja dia lebih akrab dengan Ray, mungkin saja emosinya akan sedikit lebih baik.

Bukankah kasih sayang berperan penting dalam pembentukan watak dan karakter seorang anak?

"Hmm... Papa mau duduk?" tanya Ray dengan nada super canggung dan kaku.

Brayden mengangguk, lalu duduk di kursi belajar sementara Ray mendaratkan bokongnya di tepi kasur. Posisi mereka saling berhadapan meski Ray jadi lebih pendek karena kaki kasurnya yang rendah.

"Hmm... ada yang mau Papa diskusikan. Jujur saja... Papa denger pembicaraan kamu sama Tinky... hmm... tapi bukan itu poin utamanya. Maksud Papa—–"

"Tentang video di sekolah, ya?" tebak Ray terus terang. "Kalo aku boleh jujur, aku memang nggak mau pisah sama Tinky. Cuma... aku yakin ini juga berat buat Papa karena keputusan ini akan berpengaruh besar pada saham perusahaan."

"Kamu benar, Ray. Kalau Papa diancam lebih awal sebelum ketemu lagi sama Tante Bella, Papa pasti lebih mementingkan saham lebih dari apa pun. Namun... saham itu udah nggak penting lagi sekarang sebab Papa udah menemukan banyak hal yang jauh lebih penting."

Brayden menatap Ray lekat-lekat, lalu menambahkan, "Itu kamu, Ray. Seharusnya dari dulu Papa lebih perhatian sama kamu. Maafin Papa, ya. Papa sadar saat tahu Gea udah menyusun rencana untuk membunuh kamu. Andai Tinky nggak menolong kamu, mungkin Papa akan menyalahkan diri sendiri seumur hidup."

Ray jadi teringat bagaimana raut wajah Brayden yang seketika memucat saat Kevin Raphael menyebut nama Ray dalam ancamannya. Untuk kali pertama Ray merasa hatinya jauh lebih hangat, apa lagi dengan fakta dia mendengar secara langsung seperti ini.

"Papa juga sangat berterima kasih sama Tinky dan Tante Bella yang sepertinya memang ditakdirkan buat menolong kita. Papa percaya itu, Ray, jadi Papa nggak mungkin tega memisahkan kalian gara-gara ancaman itu. Lagi pula, kita nggak ada bedanya dengan keluarga Raphael jika kita mengikuti kemauannya."

"Kalau gitu, apa Papa punya ide?" tanya Ray. "Oh ya, Papa juga perlu sama rekamannya, 'kan? Udah aku salin, Pa."

Ray menyerahkan sebuah USB pada Brayden, yang menerimanya dan secara tidak sadar meremas benda itu dengan geram. "Papa akan membuatnya menyesal karena telah melakukan semua ini pada keluarga Papa. Lihat saja nanti."

Brayden menatap Ray kembali setelah menyimpan USB itu. "Tante Bella udah mengecek isi ponsel Kevin yang dikiranya rusak total. Tidak ada yang penting kecuali ada catatan panggilan dari nomor yang sama beberapa kali. Setelah dicek, rupanya itu adalah nomor dari teman sekolahnya Gea. Namanya Bernice. Kamu kenal dia?"

"Kenal, Pa. Dia memang teman dekat Gea. Udah jelas salah satu temennya merekam aku sama Tinky, trus dia yang ngasih video itu."

Brayden mengangguk berkali-kali tanda paham. "Benar. Mereka pastilah merencanakan sesuatu dari video itu. Kalau gitu, Papa akan menggelar konferensi pers secara terbuka."

"Konferensi pers?" ulang Ray, yang sama sekali tidak kepikiran tentang ide ini. Dia sudah mengerti bahkan sebelum Brayden menjelaskan lebih lanjut, terlihat dari raut wajahnya yang seakan mendapatkan pencerahan.

Brayden mengangguk. "Tentu saja. Tante Bella dan Tinky nggak bisa terus-terusan dicemooh oleh mereka. Udah saatnya mereka menegakkan kepala. Kevin pasti pernah menduga kemungkinan ini, tapi dia nggak memperhitungkan rekaman CCTV ini. Catatan panggilan di ponsel juga akan merugikan dia."

*****

Kabar konferensi pers yang diselenggarakan oleh Brayden mengundang banyak ketertarikan tidak hanya dari pihak wartawan saja, tetapi juga masyarakat dari berbagai kalangan. Kabar ini bahkan menjadi topik populer nomor satu yang dibicarakan banyak orang lewat pencarian di internet.

Kemudian ketika waktunya telah tiba, Brayden masuk ke dalam ruangan di mana para wartawan telah berkumpul dan pria itu langsung berhadapan dengan segala macam alat perekam yang ditegakkan satu per satu di meja panjang saat duduk. Bunyi flash kamera menyilaukan mata seolah tak ada habisnya, tetapi untung saja Brayden telah terbiasa sehingga kilau tersebut sama sekali tidak mengganggunya.

Brayden tersenyum dan membungkukkan kepalanya sedikit. "Selamat pagi, para wartawan. Terima kasih atas kesediaan waktunya untuk melaporkan konferensi pers hari ini secara live. Sehubungan dengan berita mengenai perencanaan pembunuhan atas pewaris tunggal Grup Nathaniel, ada pernyataan yang akan saya ungkapkan demi menghindari kesalahpahaman ataupun rumor yang tidak mengenakkan. Seperti yang telah dilaporkan, telah terbukti bahwa pelaku utamanya adalah Gea Raphael, putri Kevin Raphael."

"Apakah Bapak tahu motif sebenarnya dari Nona Gea yang adalah putri dari Kevin Raphael? Bukankah Kevin Raphael adalah adik dari almarhum Leyna Raphael—–istri pertama Anda?" tanya salah satu wartawan yang duduk di barisan depan setelah mengacungkan tangannya.

Semua wartawan di ruangan itu tampak bersemangat. Jemari mereka menari cepat di atas keyboard sementara telinga otomatis dipertajam untuk mendengar semua pernyataan tanpa terlewatkan.

Brayden mengangguk. "Benar. Kevin adalah adik ipar saya. Gea memang mempunyai motif kuat untuk membunuh Ray supaya bisa mendapatkan warisan yang telah dibuat atas nama Ray. Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut, izinkan saya memutar rekaman CCTV terlebih dahulu. Sebab dari rekaman tersebut, kalian bisa menemukan apa motifnya."

Sekretaris Brayden segera cepat tanggap, lantas memutar video di dalamnya sesuai perintah. Rekaman itu tentu saja menjelaskan semuanya, beruntung kamera tersembunyi yang Ray letakkan memiliki fitur yang canggih sehingga suara yang dihasilkan sangat jelas dan gambarnya juga berkualitas.

"Tambahannya," lanjut Brayden setelah rekaman tersebut berhenti di titik akhir. "Saya juga mau mengungkapkan bahwa Tinky Michiru bukan anak kandung sah saya dengan Bella Stephany."

Kilat kamera mulai heboh lagi, bahkan jatuhnya menjadi dua kali lipat lebih berefek dibandingkan sebelumnya, jelas menunjukkan sekentara apa rasa penasaran selagi jemari mereka menari di atas keyboard dengan kebrutalan yang melebihi seharusnya.

Tentu saja, ini berita hangat yang tidak akan mereka lewatkan barang satu kata pun.

"Kenapa bisa, Pak? Bukankah jelas, Tinky Michiru adalah anak Bapak sama Bu Bella? Jika bukan, lantas Tinky anak siapa?"

"Apakah Tinky adalah anak Bu Bella dengan pria lain?" timpal wartawan lain, mengunterupsi niatan Brayden untuk menjelaskan.

"Siapa Tinky Michiru?"

"Apakah itu berarti... Tinky tidak ada hubungan darah sama Ray Nathaniel?"

"Tolong jelaskan semuanya tanpa ada yang terlewat, Pak."

Kilatan semakin banyak bahkan ada yang berani mencondongkan tubuh untuk menjangkau Brayden sebelum sang sekretaris segera mengambil sikap dengan menjadikan tubuhnya sebagai perisai, melindungi atasannya.

"Harap tenang. Pak Brayden akan menjelaskan semuanya, jadi tolong, jangan bertindak impulsif."

Tersirat nada lugas dalam suaranya. Tentu, berhubung hampir setengah dari wartawan kepo yang berniat untuk meniru kelakuan wartawan tadi. Mayoritas yang sudah berdiri dan maju beberapa langkah, terpaksa kembali ke kursi mereka masing-masing.

"Baik, silakan tanya satu per satu. Saya akan menjawab semua pertanyaan tanpa terkecuali sebab setelah konferensi ini selesai, saya tidak akan segan-segan terhadap siapa saja yang berani menghina atau mencemooh Bella Stephany dan Tinky Michiru."

Tersirat nada tegas dalam suara Brayden, bahkan intonasi nadanya terdengar lebih berwibawa dan dingin, yang seketika memberikan efek yang cukup mengesankan di ruangan tersebut. Benar saja, tidak sedikit yang gerakannya membeku di udara dan tercengang dengan kata-kata pebisnis terkenal itu.

Sudah saatnya jasa kalian diungkap di dunia.

Bersambung

Cheer Up, Tinkerbell! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang