Part 28

40 19 8
                                    

Sebuah botol berisi minuman soda ditempelkan ke pipi Ray yang pada saat itu sedang bersandar di salah satu pilar gazebo. Efek dingin dari botol tersebut sukses membuatnya tersentak sementara Tinky, si pelaku, tertawa geli melihat reaksinya.

"Lo bikin gue hampir jantungan tahu nggak, sih!" Ray misuh-misuh, tetapi dia menerima botol itu dengan senang hati selagi Tinky duduk di sebelahnya. Gadis itu juga memegang botol yang sama dan keduanya menenggak minuman soda dalam durasi yang hampir bersamaan.

"Lo sendiri yang beri perintah buat ngambil minuman soda," protes Tinky balik. "Untungnya, lo nggak nyuruh gue ambil alkohol karena lo harus berhenti minum minuman itu mulai dari sekarang."

"Makanya gue nyuruh lo ngambil soda," timpal Ray. "Soalnya gue mau minum sama lo. Nggak bisa bayangin, deh, kalau misalkan kita mabok bareng."

Ucapan Ray terdengar begitu santai, tetapi berhasil membuat jantung Tinky berdetak tidak stabil dan rona merahnya muncul sebab tiba-tiba teringat akan kenangan yang cukup memalukan. Ray memilih berpura-pura untuk tidak tersenyum karena lagi-lagi sama seperti yang telah terjadi di masa lalu, dia merasa tidak setega itu untuk menertawakannya.

Saking salah tingkahnya, Tinky menenggak soda terlalu banyak dari seharusnya sampai-sampai lupa kalau air soda bisa membuatnya bersendawa jika meminumnya dengan terburu-buru seperti itu. Lantas seperti yang bisa diduga, gadis itu bersendawa keras.

Itu adalah situasi memalukan lain yang terjadi dan Tinky menyesal mengapa semua hal yang memalukan harus diketahui oleh Ray. Cowok itu tidak tahan dan akhirnya tertawa lepas. Tawanya terdengar sulit dihentikan jika ditilik dari sebelah tangan yang memegangi perutnya yang mulai sakit.

"Lo seneng banget kayaknya," sindir Tinky, lama-lama mulai kesal.

"Lo... lo lucu banget. Makanya gue betah duduk sama lo waktu SMP. Gue suka ekspresi lo yang malu-malu begitu."

"Tapi rasanya dulu lo nggak ketawa sekencang ini, deh!" Tinky berkomentar sinis. "Apa karena dulu lo jaim?"

Ray mengangguk. Tawanya mulai mereda. "Dulu gue nggak tega, sih."

"Jadi, sekarang tega?" tanya Tinky, lantas mencubit pipi Ray dengan geram meski dia tidak mengandalkan kekuatan saat melakukan itu.

"Karena lo cewek gue. Bukannya sikap jaim udah harus dihilangkan, hm?" tanya Ray balik, tersenyum terlalu lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih. Hal tersebut membuat Tinky seketika membeku, tetapi pada detik berikutnya, senyumnya ikut mengembang walau masih sarat akan ekspresi malu-malu.

Ray memegangi pergelangan tangan Tinky yang jemarinya menempel di pipinya yang otomatis membuat cubitan itu terlepas. "Thanks, Tink, udah hadir dalam hidup gue. Kalau nggak ada lo, mungkin gue udah mati sedari dulu. Lo udah nyelamatin nyawa gue berkali-kali."

Tatapan Ray menyorot tajam. Tinky sebenarnya merasa tidak nyaman diperhatikan seperti itu, tetapi dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Entah karena firasat Tinky sekuat itu atau dia terlalu hebat mengenal Ray sehingga bisa melihat tatapannya yang tersirat akan sesuatu, entahlah. Yang jelas, hari ini cowok itu terlihat berbeda dari biasanya.

"Ada sesuatu yang terjadi, Ray?"

Ray tersenyum. "Lo tahu banget, Tink. Apa karena lo terlalu mencintai gue?"

Tinky melepaskan genggaman Ray pada pergelangan tangannya dan dia terlihat kesal. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Lo harus ngasih tahu yang sebenarnya."

"Gue hanya menyesali perbuatan gue, Tink. Ke lo, Papa, dan... hmm... Tante Bella."

Tinky tampak terkejut dengan kata terakhir Ray, tetapi gadis itu sengaja diam agar Ray menjelaskan semuanya.

Cheer Up, Tinkerbell! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang