ALARM di atas nakas akan selalu berbunyi pada pukul enam pagi. Pemiliknya memang langsung terbangun. Tetapi, hanya untuk mematikan benda berisik itu lalu kembali tidur. Lima menit setelahnya terdengar bunyi dering dari ponsel yang bersebelahan dengan alarm. Selalu begitu hampir setiap hari.
Wanita itu diam sebentar lalu dengan cepat mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Masih dengan mata yang sedikit terpejam menahan kantuk, tangannya terulur mengambil ponsel dan menggeser panggilan yang sudah sangat ia hafal siapa peneleponnya.
"Iya, Bu. Aku sudah bangun."
"Hmm ... Sudah bangun? Lalu sedang apa? Sarapan? Atau merias wajah?"
Wanita itu--Kim Jisoo--menjauhkan ponsel dari telinganya sebentar untuk mengumpulkan nyawa agar ibunya percaya walau Jisoo tahu sang ibu pasti sudah mengetahui bahwa dirinya memang belum siap-siap untuk berangkat kerja.
"Merias wajah," jawabnya.
"Benarkah?"
Jisoo membuang napas. Ia tidak bisa berbohong jika Sandara sudah bertanya seperti itu. "Aku baru bangun, masih di kasur. Setelah ini aku akan langsung mandi," jujurnya.
"Sudah Ibu bilang jangan tidur terlalu malam, Jisoo." Dan sudah Jisoo duga ia akan dimarahi lagi oleh sang ibu.
"Kau ini seorang dokter tapi tidak peduli dengan kesehatanmu. Jangan terlalu sibuk bekerja, pikirkan kesehatanmu juga. Bagaimana jika menikah nanti? Apa kata suamimu jika kau terus bekerja lalu kelelahan dan akhirnya sakit? Siapa yang mengurusnya?"
Jisoo memutar kedua bola matanya. Ibunya ini memang selalu memikirkan tentang pernikahan, sampai ia bosan mendengarnya. Jisoo masih 25 tahun, tidak ingin terburu-buru untuk menikah.
"Kenapa kau selalu berbicara tentang pernikahan? Biarkan saja dia sibuk dengan pekerjaannya,"
Jisoo tersenyum mendengar suara sang ayah yang membelanya di seberang sana. Ia berkata, "Dengarkan apa kata Ayah, Bu."
"Jangan menjawab, pergi mandi sana!"
Jisoo tersenyum geli. "Baiklah, kalau begitu aku tutup. Terima kasih sudah membangunkanku. Ibu adalah ibu terbaik di dunia, aku sayang Ibu. Selamat pagi dan selamat beraktivitas Ibu, dan juga Ayah! "
Jisoo langsung mematikan sambungan telepon lalu meletakkan kembali benda persegi itu di atas nakas sedangkan dirinya langsung beranjak menuju ke kamar mandi.
Beralih ke kediaman keluarga Kim, Nyonya Kim meletakkan ponselnya di meja makan lalu mengambil sepotong roti itu untuk diolesi selai.
Nyonya Kim masih dongkol karena Tuan Kim lagi-lagi membela Jisoo saat ia sedang memberi petuah pada putri tunggal mereka itu.
"Kau jangan membelanya, diumurnya itu menikah tidak dilarang," ujar Nyonya Kim.
"Harusnya kau yang jangan terus memaksanya. Bagaimana kalau dia stres karena sering kau desak untuk menikah?"
"Aku bukannya memaksa tapi mengingatkan. Ck, dia itu seorang psikiater. Hal seperti itu tidak mungkin sampai membuatnya stres."
Tuan Kim tidak menjawab lagi. Berdebat dengan Sandara tidak akan ada habisnya. Ia memilih untuk menikmati sarapan paginya dari pada meladeni Sandara.
"Tapi, Sayang, apa kau tak takut?" tanya lagi Nyonya Kim.
"Apa yang harus ditakuti? Memangnya jika tidak menikah akan dibunuh?"
Nyonya Kim berdecak. "Bukan itu, maksudku, Jisoo tinggal sendiri di apartemen. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Feeling
Fanfiction[Fanfiction] Mengobati banyak pasien dalam satu hari tidak keberatan, tetapi kenapa meminta Jisoo membalas perasaan Jinyoung rasanya berat sekali?