Jisoo yang baru saja membuka mata kembali memejam saat mendengar omelan dari Nyonya Kim. Ia baru siuman, bukannya mendapatkan perhatian, dirinya malah disemprot dan juga disalahkan oleh sang ibu.
"Sudah Ibu bilang, kau tak perlu datang bekerja. Ayahmu direktur di sini, kenapa kau khawatir sekali kalau tidak masuk sehari saja?"
Rasa-rasanya Jisoo ingin kembali pingsan. Ia merasa malu pada Doyoung dan Sejeong yang mendengar hal itu.
"Kesehatanmu lebih penting dari apapun. Kalau kau sakit bagaimana kau bisa merawat pasienmu?"
Jisoo mendengus. "Iya, Bu." Satu-satunya cara agar membuat Nyonya Kim tidak memarahinya lagi adalah dengan mengalah dan mengiyakan omongan sang Ibu.
"Bukan itu saja. Ada yang ingin Ibu tanyakan padamu. Kenapa kau masih memperdulikan pasien gila itu? Bukankah Ayahmu sudah memberikan perintah bahwa kau tak boleh merawatnya?"
"Dia tidak gila, hanya sedang sakit. Ibu tidak boleh mengatakan seperti itu tentangnya."
Nyonya Kim menggeleng. "Entah berapa banyak uang yang mereka bayar padamu sampai kau sebegitu membelanya. Dia sudah hampir membunuhmu, tapi kau ...."
"Mereka tak pernah membayarku untuk hal semacam itu, Ibu jangan mengada-ngada. Aku membelanya karena dia tidak seperti apa yang Ibu katakan."
"Lihat, kau masih saja membelanya. Astaga ...." Nyonya Kim menggeleng tak percaya. Ia tak habis pikir dengan Jisoo yang sudah hampir mati karena pasien, tetapi wanita itu masih tetap membelanya.
Jisoo memijat pelipis. "Terserah apa kata Ibu. Aku ingin istirahat, tolong tinggalkan aku sendiri."
Nyonya Kim mendengus lalu melangkah pergi. Tersisa hanya Doyoung dan Sejeong yang masih berdiri di tempat. Jisoo yang akan kembali menutup mata langsung menatap keduanya.
"Kenapa masih di sini?"
"Kami ingin menemanimu, Kak."
"Terima kasih, tapi tak usah. Aku ingin istirahat sebentar."
"Baiklah, Kak. Kalau butuh sesuatu panggil kami saja," kata Sejeong membuat Jisoo mengangguk dan tersenyum tipis.
"Oh, ya, Kak."
Jisoo lagi-lagi tak jadi memejam. Ia melirik Sejeong yang masih setia di tempat sedangkan Doyoung sudah melangkah pergi.
"Ada apa, Sejeong?" tanya Jisoo.
"Tadi ..., pria itu ada di sini."
Jisoo mengerut tak paham dengan omongan Sejeong. "Pria itu? Siapa?"
"Yang selalu denganmu," jawab Sejeong, tetapi jawabannya tetap membuat Jisoo mengerti.
"Pria yang selalu denganku? Siapa?" tanya lagi Jisoo tak tahu.
"Aku lupa namanya."
"Jinyoung?" Jisoo hanya menduga, tetapi dugaannya ternyata benar saat Sejeong mengangguk.
"Dia ke sini?"
Sejeong mengangguk lagi. "Saat Kakak pingsan tadi, aku dan Doyoung lewat di depan ruangan dan tak sengaja melihatnya ada di sini. Dia seperti mengatakan sesuatu padamu, tapi tak tahu apa."
Jisoo mengerut dan memikirkan apa yang Jinyoung lakukan di ruangan saat ia pingsan tadi.
"Aku hanya ingin memberitahu itu, kalau begitu aku pergi dulu. Hubungi aku jika butuh sesuatu, Kak."
Jisoo hanya mengangguk. Dia mengerut tanda bingung sekaligus menebak apa yang dikatakan Jinyoung tadi saat ia pingsan. Hal itu membuat kepala Jisoo menjadi sakit. Ia meringis kemudian kembali berbaring.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Feeling
Fanfic[Fanfiction] Mengobati banyak pasien dalam satu hari tidak keberatan, tetapi kenapa meminta Jisoo membalas perasaan Jinyoung rasanya berat sekali?