9. Da real treehouse

65 10 1
                                    

"Sha, tolong ambil papan kayu dong!"

Aku mendengus kesal untuk kesekian kalinya, kemudian mengambil sebuah papan kayu untuk diberikan kepada Jef.

Jef menerima kayu yang kuberikan, kemudian memasangnya di antara dahan dahan yang kokoh supaya bisa bertahan lama dan tidak mudah roboh. Sepertinya dia hebat sekali membuat rumah pohon.

Oh iya, hari ini kami sedang membuat rumah pohon seperti yang kami rencanakan kemarin. Jef bertugas untuk membuat rumah pohonnya, sementara aku membantu dia seperti kalau diabutuh papan kayu lagi atau yang lain lain.
Aku mendongak, hanya untuk mendapati Jef yang sedang menyeka keringatnya. Sebagian kaus hitamnya sudah mulai basah karena keringat, rambutnya juga sudah mulai lepek.

Ouw, my poor little Jef. Pfffft....

"Nggak capek Jef?!" Kataku sedikit berteriak. Jef menoleh dan tersenyum, lalu menyigar rambutnya kebelakang.

Aaaakh.

"Capek sih, tapi nanggung kalau mau istirahat." Jawab Jef, kemudian kembali berkutat dengan kayu kayunya. Sebenarnya aku kasihan karena Jef harus bekerja sendirian, dan waktu aku ingin membantu pasti dia menahanku dengan seribu alasan.

"Nggak usah, aku aja. Nanti kamu kecapekan."

Kira kira begitu alasannya.

Karena bosan, aku berinisiatif untuk membuatkan makan siang untuk kami. Persediaan ikan dan ayam mentah masih lumayan banyak berhubung kami baru saja berburu lagi kemarin lusa.

Aku berjalan menuju pinggiran pantai lagi, kemudian mulai menyalakan api unggun untuk membakar ikan dan ayam.

Setelahnya aku duduk bersila di samping api unggun yang berkobar kobar dengan dua tusuk ayam di masing masing tanganku. Tinggal tunggu matang, selesai deh.

Aku tidak tahu sudah berapa lama kami ada di pulau sialan tapi aku suka ini. Bahkan kami melihat waktu hanya lewat matahari dan bulan saja.

Omong omong buat kalian yang bertanya tanya tentang Bubu, anjing kecil itu sudah tumbuh sedikit lebih besar sekarang. Saat ini aku tidak bisa melihatnya, mungkin dia sedang berjalan jalan disekitar pantai. Dan ya, mungkin itu hobi barunya sekarang. Jadi aku tidak bingung ketika tiba tiba tidak mendapati Bubu disekitar kami.

Kelihatannya ayam yang kubakar sudah matang, lalu aku meletakkannya di daun kelapa lebar yang sudah aku ambil sebelumnya.

Aku menggulung lengan kausku sampai bahu sebelum kembali membakar ikan. Akhir akhir ini cuacanya jadi sedikit lebih panas ketika siang, lalu menjadi dingin sekali ketika malam. Mungkin musim panas sudah dekat.

"Jangnan aninde~ jigeum naenune johahanda sojeo ineunde~
Why don't you feel it~ imi eolgurae jireol taero nago ineunde~
Neo gyesoke nae hage nae hage~
U-- ANJING!"


Refleks aku terlonjak kaget saat ada sesuatu yang mendarat di punggungku. Shit, bahkan aku mengumpat dalam bahasa Indonesia. Nyanyianku juga jadi terpotong.

Aku berbalik hanya untuk mendapatkan seekor anjing kecil yang sedang menjulurkan lidahnya dan ekornya yang di kibas kibaskan. Aaa, kiyowo.

Mulutku yang tadinya sudah mau misuh misuh malah tersenyum, lalu mengelus bulu bulu Bubu. Ah, dia lucu sekali.

"Dasar ngeselin, tau tau dateng terus ngagetin. Lain kali jangan gitu ya Bu, kalo gue jantungan gimana? Nggak bisa tanggung jawab kan lo? Makannya kalo dateng tuh pake permisi dulu, jangan asal nyerobot meluk gitu, ya. Jadi asu yang baik gitu lho." Omelku dalam bahasa Indonesia.

Telinga Bubu turun, kemudian ekornya juga turun. Bubu mulai duduk anteng di pangkuanku, seakan akan dia mengerti apa yang aku bicarakan tadi. Anjing yang baiik.

From Singapore to Indonesia; ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang