Ch. 16 | Kejujuran

3.5K 190 13
                                    

Cerita sebelumnya: Habibie yang khawatir terhadap keadaan Alvan memberikan segalanya yang dia miliki untuk menolong lelaki tersebut. Jenifer, Habibie dan Mario bertemu untuk pertama kalinya di dalam ruangan rumah sakit tersebut.

Matanya terbuka dengan perlahan, dimana dia menyadari keadaan tubuhnya yang tidak baik ini dengan seketika. Rasa sakitnya seiring berjalannya waktu sudah mulai menghilang, yang entah juga dia sudah terbiasa dengan rasa sakit itu. Pikirannya melayang memenuhi ruang kepalanya yang sempit, dimana gambaran kilas balik terjadi persis di hadapannya. Semua kisah memilukan itu diputar layaknya film horror terburuk yang pernah ada, sehingga tak terasa air matanya terjatuh sedikit demi sedikit.

"Kamu kenapa?" ucap sebuah suara yang berat dari sisi sampingnya. Dia langsung dapat mengenali suara khas tersebut, yang kemudian dia langsung melirik persis ke sisi samping tersebut.

"Ini nyata ga sih kak?" ucapnya dengan nada yang sangat pilu. Matanya sudah sangat panas, dimana air mata itu sudah tidak lagi mampu terbendung oleh pelupuk matanya.

Lelaki tersebut kemudian menghampirinya dan langsung mendekap tubuh yang sedang terbaring tersebut dengan lembut,"Terkadang kenyataan tidak sesuai yang kita harapkan van, sesuatu yang baik mungkin akan terjadi untuk kamu ke depannya" ucapnya sembari mengelus rambut lelaki tersebut dengan lembut. Alvan kemudian membalas dekapannya dengan merangkulkan tangannya ke pundak lelaki tersebut, sembari menahan seok-seok tangisannya.

"Kamu jangan bersedih lagi ya, kaka juga jadi ikutan sedih ngeliat kamu begini" ucap lelaki itu sembari mengusap air mata yang masih berjatuhan di pelupuk matanya.

"Aku akan coba ka, semampu yang aku bisa" ucapnya dengan nada yang serak.

"Kamu bisa keluarin semua uneg-uneg kamu ke kaka, sesuka kamu. Kalaupun itu berkaitan sama kaka, kamu keluarin aja. Kaka akan dengerin, manatau itu bisa membantu kesehatan mental kamu" ucap lelaki itu dengan sangat lembut.

Alvan kemudian melirik lelaki tersebut dengan sangat lekat,"Kaka yakin? Tapi semua yang aku ucapin akan ngelukain perasaan aku juga, apakah itu perlu?" ucapnya dengan nada yang sangat berat.

Diapun menarik nafas dalam-dalam, mencoba meyakinkan dirinya untuk menerima apa yang akan dikatakan oleh lelaki tersebut kepadanya,"Denger van, kaka akan membuka telinga dan hati kaka untuk mendengar semua isi hati kamu. Kaka tau truth hurts sometimes, tapi mau bagaimana lagi kebenaran tetaplah kebenaran, terkadang hati suka menolak kebenaran karena itu menggangu kenyamanan kita. Tapi, gua itu Mario, seseorang yang ga akan takut menghadapi kebenaran yang ada" ucapnya dengan nada yang lugas.

"Gua benci sama homo kayak lu ka" ucap Alvan dengan polos, sedetik setelah Mario mengeluarkan kata-katanya. Mendengar ucapan Alvan tersebut, perasaan Mario tiba-tiba seakan terbelah dua, dimana dia merasa ada duri yang menusuk tubuh di setiap detik dirinya mendengar cerita Alvan kemudian.

"Lu benci sama homonya, atau sama gua?" tanya Mario sembari menahan emosi menanggapi ucapan Alvan tersebut. Lelaki itu kemudian terdiam sesaat mendengar pertanyaan tersebut,"Dua-duanya" jawab lelaki itu dengan lugas.

"Yakin? Sebelum kamu tau kaka homo, apa kamu merasakan hal yang sama ke kaka?" tanya Mario kemudian sembari memperlembut suaranya.

"Gatau, aku merasa aneh kalau inget-inget yang dulu. Andaikan aku tau kaka dari dulu homo, mungkin aku ga akan mau berteman sama kaka" ucap Alvan dengan lugas.

"Oh iya? Jika kamu ga pernah mau berteman sama kaka, kenapa sampai sekarang kamu masih nyaman kaka ada disamping kamu?" tanya Mario dengan nada bingung.

"Entahlah ka, aku bingung sama perasaan aku sendiri. Kepala aku jadi pusing kalau mikirinnya, rasanya aku pengen belah kepala aku buat mikirin jalan keluar tiap masalah yang ada sekarang" ucap Alvan sembari membuang mukanya.

Mas Habibie, Trainerku [Finished]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang