Ana menapakan kakinya dibelakang kelas miliknya, dia melempar tasnya lewat jendela yang biasa digunakan untuk masuk kedalam kelasnya ketika sedang terlambat. 3 hari dirawat dirumah sakit membuat dirinya takut jika keluarganya mengetahui bahwa dia sedang dirawat, dan dia akhirnya memutuskan untuk pulang semalam.
Walaupun memar ditubuhnya belum pulih, tetap saja Ana lebih memilih pulang. Ah, mengingat kata pulang Ana menjadi teringat kejadian semalam.
Flashback On
Dengan koper kecil berwarna hitam ditangannya, kaca mata hitam yang menutupi mata indahnya dan syal berwarna biru menutupi lehernya, Ana memasuki rumah dengan langkah yang dia buat segirang mungkin.
"I am home..." Tidak ada yang menyahuti membuat Ana menghembuskan nafasnya malas, dia melangkahkan kakinya kearah dapur dapat ia lihat mamanya yang sedang mencuci piring dan papanya yang memeluk sang mama dari belakang.
"Pantes aja dipanggili gak dengar-dengar." Dewi dan Baran tampak terkejut, namun bukannya melepas pelukannya, Baran malah semakin mengeratkan pelukannya yang melilit diperut Dewi membuat Ana berdecak kemudian berjalan duduk di bangku meja makan.
"Ana gak mau ya pa, punya adek." Baran mengangkat alisnya. "Bukannya kamu suka sama anak kecil."
"Iya suka tapi harus yang imut, kalau burik mah Ana ogah."
"Trus kalau nanti anak kamu burik gimana?"
"Imposible, Ana kan cantik pasti nantinya anak Ana cantik sama ganteng juga. Udah ah, ngapain bahas anak sih?" Dewi dan Baran tertrawa.
"Ya Tuhan." Semua orang menoleh kearah Devan yang terkejut sambil menatap Ana. "Lu ngapain pulang bawa-bawa koper gini? Kayak pulang dari mana aja lu. Ini lagi, ngapain pakai syal gini, jakarta gak lagi turun salju neng..."
"Cih, serba salah terus gua. Mau jadi anak perempuan yang normal ternyata gak semuda yang gua pikirin, udah ah gua mau kekamar, bye." Ana beralibi, dia hanya ingin segera pergi dari ruangan tersebut takut jika nanti Devan menanyakan hal yang lebih.
"Kamu sih bang."
"Loh, kok abang? Dianya aja yang kebaperan."
Flashback Off
Duk...
Ana menoleh saat merasakan seseorang menapakan kakinya ditanah samping Ana, Dehan? "Kalian." Mata Ana menatap terkejut kearah pak sugondo, begitu pula dengan Dehan. Saat ingin berlari, tangan Dehan sudah dicekal oleh Ana.
"Lu mau lari kemana?" Ana bertanya dengan suara yang sedikit dibesarkan. Tentu saja Ana akan berpura-pura menjadi murid yang disuruh untuk berpatroli dibelakang kelas, walaupun dia tidak bagian dari pengurus OSIS.
"Kalian berdua kenapa terlambat?"
"Saya tidak terlambat pak, saya disuruh sama kak Yugo buat patroli dibelakang kelas." Mata Pak Sugondo memicing. "Anak kelas 10 mana ada pengurus OSIS."
"Kan saya sudah bilang pak, saya disuruh sama Kak Yugo."
"Apa buktinya kalau kamu gak terlambat?"
"Bapak liat aja, tas saya gak adakan?" Pak Sugondo mengangguk-angguk. "Dia bohong pak, tadi saya liat sendiri kalau dia lempar tasnya kedalam kelas ini."
Mati gua.
"Elu yang boong, lu liat aja ke kelas gua, kalau ada tas yang tercecer dilantai." Pak Sugondo mengangguk setuju, mereka melangkahkan kakinya kedalam kelas.
"Yang benar aja, kenapa tasnya gak ada dilantai?"
"See?"
"Baik lah, terimakasih atas bantuanmu Ana."
KAMU SEDANG MEMBACA
DehAna
Teen FictionWarning: -Cerita ini mengandung unsur kata-kata kasar, jadi tolong bijak dalam membaca. -Cerita ini adalah hasil pemikiran saya sendiri, diharapkan tidak ada yang memplagiat cerita ini. "Ana..... ini apaan nak? Ya Tuhan, ken...