"Dia siapa?" Tanya Fathan penasaran
Farhan tersenyum dan menepuk pundak kawannya itu.
"Syaima Hulwa. Namanya bagus bukan?" jawab Farhan.
Fathan mengerutkan alisnya, "Syaima Hulwa? Pernah denger, tapi siapa ya?"
"Ente coba inget-inget gih."
Fathan terdiam. Ia mencoba memutar ingatannya. Ia menunduk, dan mulai teringat dengan nama itu. Fathan hendak membuka mulut. Namun, Farhan lebih dulu mengelak,
"Ya, cewek yang pernah chat ente."
"Ternyata yang kepoin ana dulu ...," Ucap Fathan, "Cewek bercadar."
Farhan mengangguk mengiyakan. Fathan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dari awal menatap gadis itu, seakan damai. Langsung terlantun kalimat Allah dalam hatinya, mengagumi salah satu ciptaan-Nya. Walau gadis bercadar itu begitu tertutup, tapi ia memiliki daya tarik tersendiri.
"Kenapa, Fath?"
Fathan menggeleng, "Ana duluan, bro."
Fathan berlalu meninggalkan Farhan di tempat. Farhan hanya mampu menatap punggung teman seperjuangan nya itu yang semakin menjauh.
Farhan menghela napas sejenak. Jangan-jangan kekhawatiranku menjadi kenyataan. Apa jadinya jika itu benar-benar terjadi? Batin Farhan.
========================
Kajian yang diisi oleh Syaima berjalan dengan mulus, dengan ilmu yang ia miliki cukup membuat pemudi yang belajar bersama Ummi Iffah nampak puas dengan penjelasannya.
"Maasyaa Allah, sayang. Tadi bagus penyampaiannya." Puji Ummi Iffah
"Iya, Ummi. Jazaakumullah. Ima pamit ya, Ummi."
"Iya, Ima hati-hati."
Setelah berpamitan dan mengucap salam, Syaima pamit bersama dengan Nisa. Mereka berjalan bersisian menuju tempat kost mereka. Namun, Syaima nampak berjalan dengan tatapan kosong, bagai zombie yang hidup tak bernyawa.
"Ma, tadi keren penyampaianmu." Sahut Nisa.
Syaima tak menanggapi ucapan Nisa. Ia larut dalam lamunannya, pandangannya masih kosong menatap jalanan. Nisa mengayunkan tangannya di depan wajah Syaima.
Lamunan Syaima terbuyar. Ia menengok ke arah Nisa dan bertanya, kenapa? Nisa menghentikan langkahnya, Syaima turut berhenti.
"Kamu mikirin apa sih, Ma?"
Syaima menggeleng, "Nggak kok, Nis. Nggak papa."
Syaima tak sengaja melihat Farhan berjalan melewati jalan yang sama. Syaima ingin benar-benar memastikan, karna Farhan selalu memperingati Syaima jika sewaktu-waktu bertemu dengan Fathan, dan itu benar-benar terjadi.
Syaima memanggil Farhan. Dari kejauhan, Farhan menghentikan langkahnya dan menoleh. Syaima menghampirinya, meninggalkan Nisa di tempat.
"Antum mau kemana, Han?" tanya Syaima.
"Ana mau ke kost-an ana. Kenapa?"
"Ana mau tanya."
Jakun Farhan bergerak naik turun, nampak menelan ludah. Ia sudah menebak-nebak pertanyaan Syaima.
"Tafadhdhol, mau tanya apa?"
"Fathan sekarang kuliah di UNS?"
Farhan terdiam. Lidahnya tercekat, ia merasa tak enak ingin menjawabnya. Namun, kepalanya refleks mengangguk membenarkan.
"Antum kenapa nggak bilang, Han." Protes Syaima.
"Eee, afwan, Ma. Ana nggak enak mau ngomong langsung."
Farhan merasa tak enak hati dengan Syaima. Syaima nampak menghela napas sejenak. Ia menunduk.
"Ya udah, Han. Yang penting dia nggak tau ana siapa."
Deg.
Farhan terlanjur memberi tahu Fathan tentang Syaima padanya.
Bagaimana ini? Aku tidak tau apa yang akan di lakukan Fathan kedepannya. Kasian Syaima jika Fathan benar-benar berhasil jatuh padanya. Batin Farhan."Ya udah, Han. Ana duluan."
Syaima berlalu, kembali menyusul Nisa.
Farhan memandang ke arah Syaima yang kian menjauh. Ia menunduk dan menhela napas.=========================
Laki-laki berwajah tampan itu berbaring sejenak. Ia mengingat bagaimana ia bertemu dengan gadis bercadar itu. Terbayang-bayang mata Syaima yang begitu manis, walau wajahnya terlindungi oleh cadarnya. Semua itu mampu membuatnya menebak bahwa Syaima adalah sosok gadis yang cantik nan terjaga.
Fathan tersenyum sendiri. Segala pujian atas Sang Maha Pencipta ia haturkan. Baru saja ia mengagumi ciptaan-Nya yang begitu menawan.
Dia begitu manis, kenapa dulu aku tidak meresponnya? Ah, aku terlalu terbuai dengan followersku yang kian membludak. Aku ingin tau tentang dirinya lebih jauh. Batinnya.
=========================
Syaima masih asyik memilih camilan di Luwes. Hobinya menyemil makanan ringan tidak ikut hilang bersama dengan masa-masa indahnya di kala masih menyantri. Walau begitu, tubuhnya masih tetap ideal. Dengan tinggi dan berat badannya yang seimbang.
Ada sepasang mata yang tak sengaja menangkap sosok anggun Syaima di sana. Si pemilik mata tersenyum dan terus memperhatikannya. Akhirnya perasaannya berhasil menuntun kakinya melangkah mendekati Syaima.
"Assalamualaikum." Sapanya
"Waalaikumussal-" Ucapan Syaima terpotong setelah matanya menangkap sosok yang ada di hadapannya.
Tak salah lagi, seseorang itu adalah Fathan. Ia mencoba menyunggingkan senyum canggungnya. Mata mereka beradu, mata coklat Syaima masih memancarkan keterkejutannya.
"Anti, Syaima Hulwa?" Tanya Fathan memastikan.
Bukan menjawab, Syaima justru menghindar. Ia hendak pergi begitu saja. Namun, dengan gesit Fathan menghadangnya jalannya.
"Permisi, ana mau pulang." Ucap Syaima mencari alasan.
"Ana tanya sama anti, jawab iya atau bukan." Paksa Fathan.
"Iya, ana Syaima." Jawab Syaima ketus, "Permisi."
Syaima hendak mengambil jalan lain. Namun, Fathan masih bersikeras menghadangnya.
"Tolong jangan ganggu ana, Al-Akh."
"Anti ..."
"Tolong minggir atau ana bakal teriak."
Fathan terdiam, kenapa sikap Syaima seperti seakan ia adalah penjahat yang tengah mengganggunya. Sekilas mereka saling bersitatap. Syaima mengambil jalan, melewati Fathan dengan mempercepat langkahnya seakan ingin segera menjauh darinya.
Fathan menoleh, memandang ke arah Syaima berlalu. Masih berfikir mengapa Syaima seakan enggan sekali untuk bertemu dengannya.
Sebenci itukah dia padaku? Apa karna ucapanku dulu padanya? Batin Fathan.TBC___
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas Benci
RomanceSyaima, gadis bercadar yang sudah hafal Al-Qur'an itu kembali menjalankan studinya di UNS. Dan di situlah awal pertemuannya dengan Fathan. Lelaki yang sangat di bencinya. Namun, pernah pula mengisi hatinya. "Kenapa Anti benci banget sama Ana?" tanya...