Lima Belas

130 11 7
                                    

Kedua mempelai itu hadir di pelaminan. Para tamu terpana melihat anggunnya tampilan Syaima yang begitu menawan. Apalagi setelah disandingkan dengan Fathan yang begitu tampan.

"Lho, kok nggak gandengan tangan?" Tanya Abah Ammar.

Fathan dan Syaima saling bersitatap. Mereka belum bersentuhan sedikitpun, mana berani Fathan menggandeng tangan gadis yang baru saja halal ia sentuh.

"Wah, pasti kamu belum doain istrimu ini, ck, ck, ck. Ya sudah. Sekarang Ima cium tangan Fathan, Fathan doakan istrimu."

Sial. Kenapa tidak selepas sholat Fathan mendoakannya. Jika di depan para tamu justru semakin membuat mereka panas dingin.

Fathan dan Syaima berdiri saling berhadapan. Jantung Syaima semakin tak karuan. Inilah kali pertamanya Syaima bersalaman dengan laki-laki. Gugup, gemetar, perasaannya tak menentu.

Sesekali Syaima mulai mengangkat tangannya, hendak meraih tangan Fathan. Namun, ia kembali menurunkannya. Oh, indahnya menikah tanpa pacaran.

"Ima, ayo cium tangan suamimu!" Bujuk Ummi Ifah.

"Ummi, I-Ima malu."

"Itu suamimu lho, Ma. Ayo cium tangannya."

"Cium! Cium! Cium!" Para tamu pun turut membujuk, yang mana mayoritas mereka adalah teman Fathan, juga Syaima.

Huh, menyebalkan. Membuat semakin tersipu saja.
Akhirnya, Syaima meraih tangan Fathan, dan mencium punggung tangannya. Para tamu pun bersorak.

Fathan menyentuh lembut ubun-ubun Syaima sembari melafalkan doa, mengharap segala kebaikan dan dihindarkan dari segala keburukan atas istrinya. Fathan meniup lembut dahi istrinya lalu mengecupnya.

Suasana semakin pecah meriah. Syaima hanya mampu memejamkan matanya, merasakan hangatnya kecupan pria yang baru saja menghalalkannya. Dan tidak pernah merasakan kecupan dari laki-laki manapun. Oh Syaima, begitu istimewanya dirimu.

Fotografer telah hadir, bersiap untuk mengabadikan moment terindah bagi keduanya. Mereka saling bertukar cincin. Kemudian mulailah fotografer mengaba bereka agar berpose ala pengantin yang begitu romantis.

"Ayo mempelai pria, pegang pinggang istrinya ..."

"Ayo mbak pengantin pegang dada suaminya ..."

Tegang, itu pasti. Bagaimana tidak. Syaima yang pernah memberi laki-laki bernama Fathan itu,  kini harus sedekat itu.

Kini keduanya menghadap orang tua Fathan yang hadir dari pulau sebrang, demi menemani sang putra satu-satunya menikah. Fathan memeluk sang ibu yang telah bercucuran air mata penuh haru.

"Sayangi istrimu, nak. Hormatilah ia, bahagiakan ia, dan jangan sakiti dia. Jika dia salah tegur dengan cara baik-baik. Jika kau hendak pukul, jangan pukul wajahnya dan jangan pukul ia dengan kekerasan."

"Iya Mama. Fathan akan selalu ingat pesan Mama. Doakan Fathan, Mam."

"Tanpa kau minta mama selalu doakan kau yang terbaik, nak. Semoga keluargamu bahagia."

Kini giliran Syaima yang menghadap sang ibu mertua. Mama Fathan tersenyum, lalu mencium kedua pipi, juga kening Syaima. Mendapatkan kenyamanan itu, Syaima menangis. Ia bahkan lupa bagaimana ibu kandungnya sendiri mengecupnya.

"Menantu Mama cantik sekali. Jadi istri yang sholihah ya, Nak. Mama tunggu kehadiran kalian di Lampung."

"Terimakasih banyak, Mama. Ima bahagia jadi menantu Mama." Teguh Syaima haru.

"Fathan, kau sekarang sudah menjadi kepala keluarga. Tanggung jawabmu besar. Maka jagalah amanahku baik-baik." Pesan Papa pada Fathan.

"Iya, Pa. Fathan akan selalu ingat pesan Papa. Doakan Fathan, Pa."

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang