Enam Belas

100 8 7
                                    


Fathan bersiap. Syaima menyediakan segala yang dibutuhkan oleh suaminya itu. Ia membantu Fathan merapikan kemejanya. Fathan hanya terdiam sembari tersenyum menatap sang istri.

"Abang, hati-hati bawa motornya."

"Iya, dek. Tenang saja. Nggak pa-pa 'kan Abang tinggal?"

Alis Syaima nampak beradu. Fathan terkekeh melihat wajah Syaima yang nampak keheranan. Tanpa memberi aba, Fathan mengecup pipi Syaima.

"Abang ih!" Gerutu Syaima.

"Kan kamu istri Abang, nggak boleh Abang cium?"

"Masih pagi udah mau godain aja. Ya udah, Abang berangkat sana!"

"Lho, ngusir?"

"Kok ngusir sih. 'Kan Abang mau ngajar, gimana sih?"

Fathan tertawa melihat wajah Syaima yang semakin menggemaskan saat menggerutu.

"Iya, iya. Abang berangkat."

Syaima mencium punggung tangan kekar penuh khidmat, lalu Fathan mengecup keningnya. Dan lagi, Fathan mencubit pipi yang telah merona itu.

"Abang ...!"

Fathan buru-buru keluar dari dalam kamarnya. Syaima memang menakutkan jika wajah garangnya ia tampakkan. Namun, itulah yang membuat Fathan semakin gemas.

==================

Syaima masih asyik membersihkan meja ruang tamu. Merapikan bunga yang terletak di vas itu. Ia beralih menuju ruang tengah. Ketika ia mengelap sebuah lemari, di sana terletak foto anak laki-laki yang nampak masih bocah. Syaima meraihnya.

Wajah yang masih terlihat polos. Siapa lagi kalau bukan Fathan semasa Sekolah Menengah Pertama. Entah kenapa, tiba-tiba ia terkekeh sendiri.

'Abang dulu imut juga.'

"Ehem, kangen ya?"

Tiba-tiba suara berat yang khas itu terdengar di belakangnya. Syaima terkejut melihat keberadaan Fathan yang sudah berdiri di belakangnya.

"Apa sih, Ab-"

Perkataan Syaima terpotong setelah Fathan memeluknya dari belakang. Lengannya melingkar sempurna di perut rampingnya. Fathan meletakkan dagu di atas pundak gadisnya.

"Abang ternyata yang kangen."

Jantung Syaima berdegup tak beraturan. Ia menelan saliva, pipinya kian merona merah. Fathan menatap wajah Syaima, dan tak sengaja pula Syaima menoleh. Kedua pasang mata itu saling bertemu.

Perlahan Fathan sedikit berpindah posisi. Satu lengannya tetap melingkar di pinggang Syaima, dan lengannya yang lain menyentuh pipinya. Entah sejak kapan telapak Syaima sudah menyentuh dada bidang Fathan. Tatapan masih enggan beralih.

"Uhibbuki Fillah, zaujati." (Aku mencintaimu karena Allah, istriku.)

Syaima tiba-tiba tersentak. Ia melepaskan dirinya dari pelukan Fathan secara perlahan. Ah, mungkin Syaima belum mampu membalas cinta itu sepenuhnya.

"Abang mau minum apa?" Tanya Syaima.

"Teh manis aja, sayang. Tapi jangan terlalu manis. Lihat wajah kamu segalanya berasa manis."

"Ya udah, Ima buatkan dulu. Abang ganti baju, gih."

Syaima berlalu begitu saja. Fathan menghela napas berat. Sulit juga menyentuh hati istrinya sendiri. Bahkan memanjakannya pun seakan tak berguna.

================

"Dek Ma. Abang mau ngomong sesuatu." Sahut Fathan sepulangnya dari masjid.

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang