"Assalamualaikum, Ima sayang. Bisa ke rumah sekarang?" Tanya Ummi Ifah di balik telepon.
"Waalaikumussalaam, Ummi. Insya Allah bisa. Ima kesana sekarang."
"Ya sudah, Ummi sama Abah tunggu. Ada kabar baik buat kamu."
Tut_
Jantung Syaima berdebar hebat. Baru dua Minggu lalu ia memberikan biodatanya, dan sekarang sudah mendapat panggilan. Itu terlalu cepat. Syaima tak mampu menebak nama siapakah yang Abah sebut nanti.
"Bismillah ... Siapapun itu, semoga ialah yang terbaik."
=================
"Abah, kok ini cepat sekali?" Tanya Syaima penasaran setelah duduk bertiga bersama dengan Ummi Ifah dan Abah Ammar.
"Sudah Abah bilang, Ma. Ini yang mudah bagi Abah, tapi entah untuk hatimu." Jawab Abah Ammar.
"Ima, biodatamu kini sedang dibawa si ikhwan. Dia menanti jawabanmu, karna dia merasa cocok denganmu."
Syaima menelan salivanya. Ia mencoba mengatur napasnya agar degub jantungnya pula turut stabil.
Abah Ammar mengambil salah satu map di sisi beliau. Melihat itu jantung Syaima semakin tak karuan. Ia benar-benar takut.
Abah Ammar menyodorkan map berisi biodata ikhwan itu. Dengan sedikit ragu, Syaima menerimanya.
"Silahkan dibuka." Titah Abah Ammar.
Syaima menatap map itu. Perlahan ia membukanya, dan matanya terfokus pada nama yang tertera di sana.
Mata Syaima terbelalak. Setelah mengeja nama juga melihat foto. Fikirannya tiba-tiba menyiapkan kalimat penolakan. Ingin mengembalikan biodata itu, dan berharap biodata lain yang akan diterima.
"Eee ... Abah. Apa tidak ada yang lain? Yang lebih cocok dengan Ima." Tanya Syaima memunculkan tatapan mata kekhawatiran.
"Abah sudah mencocokan biodatamu dengan itu, kriteriamu semua ada di orang itu. Termasuk orang terdekat Abah." Jelas Abah Ammar.
'Sejak kapan dia jadi orang terdekat Abah?' Batin Syaima.
"Abah, Ima berhak menolak 'kan?" Tanya Syaima.
"Tentu saja. Tapi Abah harap kamu mau memikirkannya lagi. Bawa dulu biodata itu."
"Ima," sambung Ummi Ifah, "Istikhoroh dulu. Jangan langsung kamu tolak. Ingat, laki-laki sholih itu sulit dicari. Memang kita tidak mencari, tapi jika ada laki-laki sholih yang ditawarkan ke kamu, apa kamu yakin yang berikutnya akan lebih baik?"
Syaima terdiam. Dia memang sudah jarang bertemu dengannya. Tapi hatinya benar-benar merasa ragu.
"Ya sudah, Abah. Ima bawa biodatanya."
"Abah menunggu jawabanmu, Ima. Jangan terlalu lama memberi kepastian."
"Insyaa Allah, Abah. Ima akan fikirkan."
===================
Syaima duduk di atas kasurnya. Fikirannya berjalan terus menerus tanpa meminta beristirahat. Ia buka kembali biodata itu.
Fathan Habibullah Ar-Razaq. Nama itu tidak lagi ia harapkan sejak empat tahun lalu harus menelan luka mentah-mentah karena ucapan kasar. Tapi kini, ia harus memutuskan, nama itukah yang akan menjadi pendamping hidupnya?
Syaima meletakkan biodata itu asal. Matanya kembali bercucuran. Merasa bahwa semua tak adil baginya.
'Ya Allah, sebenarnya takdir apa yang telah tertulis bagiku. Kenapa setelah sekian lama aku membenci Fathan justru ialah yang kini hendak meminang ku? Seburuk apakah aku sampai aku harus ditakdirkan bersanding dengan lelaki yang pernah menjadi buaya darat?' Batin Syaima memprotes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas Benci
RomanceSyaima, gadis bercadar yang sudah hafal Al-Qur'an itu kembali menjalankan studinya di UNS. Dan di situlah awal pertemuannya dengan Fathan. Lelaki yang sangat di bencinya. Namun, pernah pula mengisi hatinya. "Kenapa Anti benci banget sama Ana?" tanya...