Sepuluh

77 7 2
                                    

"Ma, nggak papa, kan aku tinggal beberapa hari?" Tanya Nisa mengkhawatirkan Syaima ketika hendak pamit pulang untuk mengurus lamaran.

"Nggak papa, Nis. Masih banyak temen juga."

"Ya udah. Kamu jaga diri lho, ya. Jaga pola makan. Jangan ngemil terus. Tuh pipi makin embem nanti."

"Hish, kamu tuh, pasti ngejek pipi."

Nisa tertawa.

"Lagian gemesin banget sih. Ya udah, aku pamit, ya."

"Iya, Nis. Hati-hati. Jangan ngebut. Semoga lancar ya sampai hari H nanti."

"Aamiin, kamu juga cepetan nyusul, lho."

"Aku nanti kalau udah wisuda."

"Ok moga dapet jodoh terbaik ya, Ima."

"Aamiin."

=========================

Tepat ketika berkunjung ke Goro Assalam Hypermart. Adzan berkumandang, Syaima memutuskan untuk menunaikan sholat di masjid Ibadurrahman. Ia bersujud dan tengadah di sana. Menikmati kebersamaannya dengan Rabb Sang Maha Cinta. Melangitkan do'a-do'a dengan beberapa titisan air mata ketulusan.

Usai menunaikan sholat, ia keluar dari masjid. Ia melihat seorang akhwat bercadar yang tengah berdiri di tepian teras masjid, nampak kebingungan. Ia mencoba mendekati akhwat itu.

"Assalamualaikum, ukh."

"Eh," latahnya terkejut, "WaalaiKumussalaam."

Syaima tersenyum padanya. Walau tak nampak, si akhwat itu mampu membaca senyumannya.

"Dari mana, Ukh?" Tanya Syaima sepenuh ramah.

"Ana dari Jogja, ukh. Ana barusan nyebrang dari Lampung."

"Oalah, jauh ya. Oh ya, ana Syaima." Ujar Syaima sambil mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan.

"Ana Maisya." Sahutnya sambil membalas jabatan tangan Syaima.

"Oh ya, ngomong-ngomong anti sendirian aja."

"Iya, ukh. Ana berangkat sendirian. Dari Jogja ana bingung soalnya kakak ana susah banget dihubungin."

"Emang kakak anti dimana?"

"Dia sekarang kuliah di UNS, sudah semester tujuh."

"Wah, ana juga lho udah semester tujuh di UNS."

Akhwat bercadar bernama Maisya itu nampak sedikit menganga. Ia terkejut mendengar Syaima yang ternyata telah menginjak semester tujuh, awalnya ia mengira Syaima seumurannya.

"Maasyaa Allah. Tapi Kak Syaima keliatan masih muda banget, lho. Kirain Ica Kakak seumuran Ica."

"Masa, sih? Biasa aja, tuh. Oh ya, berarti, kan kakak anti di Solo, ya?"

Maisya mengangguk membenarkan.

"Ya udah, ayo bareng ana aja. Kebetulan ana juga mau pulang. Eh tapi kakak anti siapa?"

"Kakak ana namanya Fathan, Kak. Fathan Habibullah Ar Razaq."

Syaima terkejut bukan kepalang. Ia hampir tak percaya. Fathan, seorang yang ia kenal sebagai buaya darat memiliki adik perempuan bercadar. Ia terdiam sejenak. Masih tak percaya.

"Kak Syaima kenal?"

"Oh, iya. Dia satu organisasi sama ana. Ya udah, kalo gitu pergi sama ana aja yuk. Ana tau kost-an kakak anti dimana."

"Tapi, kak. Nggak enak. Baru juga kenal masa' udah ngerepotin."

"Nggak papa. Nggak jauh, kok, dari kost-an ana. Lagi pula nggak baik lho akhwat sendirian di tempat baru."

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang