Delapan Belas

177 14 3
                                    

Syaima meringkuk di balik selimutnya. Ia berusaha memejamkan matanya, terlelap lalu hadir ke alam mimpinya. Namun, matanya seakan menolak untuk beristirahat. Sesekali ia menutup kepalanya dengan selimut, lalu membukanya lagi.

"Ya Allah, kenapa nggak bisa tidur?" gumamnya lirih.

Syaima menatap bantal yang biasa di tiduri oleh Fathan. Biasanya, ia tertidur sembari di peluk oleh suaminya. Dan malam itu, seakan tak lengkap tanpa pelukannya. Selimut tebal pun tak mampu mengalahkan hangatnya pelukan Fathan.

Syaima mengeluarkan tangannya dari dalam selimut, lalu mengusap bantal itu. Kenapa sekarang rindu itu terasa membara? Baru satu malam Fathan meninggalkannya. Namun, rasanya tidak lengkap jika ia harus tidur tanpa Fathan di sisinya. Bahkan ketika Fathan harus pulang larut pun ia tidak pernah tertidur sebelum Fathan memeluknya.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Syaima meraihnya, kontak bernama 'Imamku' tertera jelas di layar ponselnya, seketika hatinya gembira. Tak menunggu lama, ibu jarinya segera menggeser tombol hijau.

"Assalamualaikum, Dek Ma. Belum tidur?" tanya Fathan di balik telfon.

"Waalaikumussalaam, Abang. Belum. Ima nggak bisa tidur."

"Lho, kenapa? Nggak biasa Abang nggak peluk."

" .... "

"Kok diem?"

"Abang video call, ya."

"Iya, sayang. Sebentar."

Fathan mengalihkan panggilan suara ke panggilan video. Wajah tampan itu selalu terlihat menawan dengan senyuman yang begitu manis.

"Tidur, sayang. Udah malam." titah Fathan.

"Hmm ..."

"Kenapa? Nggak enak badan kah?"

"Nggak kok, Ima sehat. Abang kapan pulang?"

Fathan terkekeh. Nampak sekali bahwa Syaima tengah merindukannya. Syaima mengerucutkan bibirnya, membuat wajahnya semakin menggemaskan.

"Baru juga sampai, sayang. Sudah tanya kapan pulang."

"Besok Abang ada jadwal ngajar."

"Abang 'kan udah izin, udah kasih tugas juga buat anak-anak."

Syaima terdiam. Sulit sekali mengungkapkan bahwa ia tengah merindu sampai ia tak mampu memejamkan matanya.

"Tidur, dek. Udah malam."

"Ima nggak bisa tidur, Abang."

"Ya Allah, humairo Abang kenapa ini? Biasanya gampang tidurnya."

Syaima terdiam, menatap layar ponselnya yang menampakan wajah berseri suaminya yang tengah berada di pulau seberang.

'Kan biasanya dipeluk abang.' batin Syaima.

"Dek!" Panggilan Fathan membuyarkan lamunannya seketika.

"Abang, mau dengerin Abang sholawat."

"Ya udah, tapi janji harus bisa tidur."

Fathan menyenandungkan shalawat begitu merdu. Suaranya begitu nyaman didengar, menentramkan hati siapa saja yang mendengarnya.

Syaima menyandarkan ponselnya pada bantal di sisinya. Ia begitu menikmati senandung shalawat yang dilantunkan oleh suaminya itu. Tak lama matanya terpejam. Terlelap, masuk ke dalam bunga tidurnya.

Di seberang sana, Fathan menghentikan senandungnya. Ia tersenyum melihat bidadari nya telah terlelap. Sangat menggemaskan. Terasa berat ingin menutup telfonnya. Ingin sekali memeluk tubuh gadisnya itu seperti biasanya. Namun, jarak tengah memisahkan mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang