Tujuh Belas

114 9 2
                                    

Tak terasa satu bulan berlalu begitu cepat. Fathan masih setia menanti cinta Syaima tanpa menuntut hatinya untuk segera menumbuhkan rasa itu. Dan Syaima sendiri tak mampu menebak perasaannya pada suaminya. Ia tak mampu membaca perasaannya sendiri.

Syaima asyik membaca buku, rutinitasnya jika seluruh pekerjaannya telah selesai. Fathan yang baru saja pulang dari masjid, langsung menghampiri istrinya itu. Ia tersenyum, melihat si gadisnya begitu fokus sampai tak menyadari kehadiran Fathan.

"Fokus banget sih, dek."

"Eh, Abang. Baru pulang?"

"Iya, sayang."

Fathan duduk di sisi Syaima dan merapat. Ia merangkul tubuh yang entah sejak kapan terlihat lebih berisi.

"Kamu tambah berisi aja, Dek Ma."

"Ummm ... Masa sih, Abang?"

"Iya nih, bikin Abang makin gemes." Ujar Fathan semakin merapatkan rangkulannya Syaima.

"Abang, ih. Geli."

Fathan tertawa. Ia mencium kening Syaima beberapa kali. Syaima bingung, seakan Fathan ini baru saja pergi lama dan baru bertemu dengan Syaima.

"Abang sehat?" Tanya Syaima, Fathan tersenyum lalu memegang kedua pipi Syaima.

"Sayang, minggu depan Abang mau ke Jawa."

"Ha? Ngapain, Abang?"

"Abang ada undangan ngisi kajian, sayang. Abah Ammar nanti yang jemput Abang."

"Ummm ... Berapa hari? Lama nggak?"

Fathan nampak terkekeh. Pertanyaan Syaima seakan berat jika Fathan harus meninggalkannya.

"Kenapa memangnya? Takut kangen ya?" Tanya Fathan menggoda

"Abang ih, serius Ima tanya. Malah di bercandain."

"Tenang, paling tidak empat hari Abang di Jawa."

"Ima nggak diajak?"

Fathan tersenyum, tangannya menggenggam jemari Syaima dan mengecup lembut penuh cinta.

"Kalau kamu ikut nanti mau menginap di mana, sayang? Abang nanti diberi tumpangan sama Abah Ammar, 'kan nggak mungkin kamu juga ikut nanti."

"Ima cuma kangen sama Nisa, Abang. Sudah satu bulan lebih nggak ketemu. Apalagi sekarang Nisa lagi hamil. Udah sekitar enam bulanan."

Syaima menunduk sedih. Sahabat yang telah lama bersama, kini harus terpisah antar pulau. Rindu, itu pasti. Karna Nisa pun adalah bagian dari hidupnya. Mata Syaima mulai mengembun, mengingat kenangan-kenangan indah bersama karibnya itu.

Fathan menyentuh lembut dagu Syaima, mengangkat wajah yang tengah murung itu agar menatapnya. Senyum terindah tersungging pada bibir tipis lelaki tampan berkulit putih itu.

"Dek Ma, Abang janji akan bawa kamu ke Jawa. Tapi tidak sekarang, sayang. Abang tau kamu pasti rindu sama Nisa. Dan Abang janji akan bawa kamu ketemu dia."

"Beneran?" Tanya Syaima memastikan.

"Tatap mata Abang, apa Abang terlihat berbohong?"

Syaima tersenyum sumringah. Senyuman yang imut di antara kedua pipi chubby itu, membuat siapa saja gemas melihatnya.

"Makasih, Abang."

Fathan merengkuh, membenamkan kepala humaironya itu pada dadanya. Hal yang selalu membuatnya merasa tenang ketika tubuh bidadari surga nya itu tengah dalam rengkuhannya.

Syaima terdiam menikmati hangatnya rengkuhan imamnya itu. Entah mengapa, seakan ada getaran dalam hatinya. Apalagi ketika ia merasakan degup jantung Fathan yang berpacu lebih cepat saat kepalanya bersandar pada dada bidangnya. Ah, rasanya tak ingin melepas kehangatan ini, apakah Syaima mulai bisa mencintai Fathan?

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang