Empat

121 15 3
                                    

Syaima meletakkan makanan ringan yang ia beli. Ia menurunkan cadarnya, menampakkan kepiluan yang terpancar dari wajah manisnya. Ia membiarkan tubuhnya merebah di atas kasur.

Syaima memejamkan matanya, teringat sekali bagaimana bahasa Fathan yang begitu kasar di messengernya kala itu. Tak terasa air matanya mulai mengalir. Pipi dan hidungnya memerah. Jilbabnya segi empat maroonnya kian basah.

Krekk

Pintu kamar Syaima terbuka tiba-tiba. Buru-buru Syaima menghapus air matanya yang memberontak mengali tanpa meminta persetujuan. Ia bangkit dan terduduk, menatap siapa yang baru saja datang.

Nisa terdiam sejenak menatap Syaim, lalu masuk ke dalam dan duduk di sisi Syaima. Melihat mata Syaima yang sembab dan wajahnya yang memerah membuat Nisa mampu menebak.

"Kamu kenapa, Ma?"

Syaima hanya menggeleng sambil tersenyum paksa. Namun, terlihat jelas kelopak mata Syaima yang masih membendung paksa air mata yang menggenang disana, berharap tidak kembali jatuh membuat sungai di pipinya.

Nisa merengkuh tubuh Syaima, membiarkan kepala Syaima tertopang di bahunya, berharap sedikit menenangkan karibnya.

"Nangis aja, Ma. Jangan ditahan."

Syaima tak sanggup lagi menahan tangisnya, terisak sudah dirinya dalam pelukan Nisa. Tubuhnya berguncang hebat. Bahkan membuat Nisa ikut membendung air mata karna iba melihatnya. Hanya mampu memasrahkan kepiluan masa lalunya yang begitu banyak luka yang kembali berdarah.

========================

"Fathan, tumben ente mampir ke kamar ana." Ucap Farhan melihat Fathan yang tiba-tiba datang mengetuk kamarnya.

"Ana mau ngobrol sama ente, bro."

"Ya udah we, duduk."

Fathan duduk di samping Farhan. Pandangannya kosong, sejenak berfikir tentang apa yang siang tadi terjadi.

"Kenapa, bro?" Tanya Farhan.

"Ana nyesel udah kasarin Syaima. Ana nggak tau kalo dia pake cadar."

Farhan menatap Fathan serius. Ada raut wajah penyesalan disana, wajah yang biasanya menampakkan keangkuhan, kini luluh hanya karena satu gadis yang pernah disakitinya. Fathan menoleh ke arah Farhan yang masih menatapnya.

"Ana pengin minta maaf sama dia."

"Nah, sekarang ente tau kan. Nggak seharusnya ente bersikap kaya gitu cuma karna ngeladenin cewek yang ngefans sama ente. Toh dia cuma pengin chat."

"Ana bingung, ngeliat wajah ana aja udah kaya males banget. Gimana mau minta maaf coba."

Farhan menepuk punggung Fathan, "Coba kasih dia waktu, jangan dulu ente muncul di hadapan dia. Baru ente coba temuin dia baik-baik. Ngomong baik-baik sama dia."

"Ente kenal dia dah lama?"

"Sejak masa ngabdi, kita sering sharing ilmu. Dia baik orangnya."

"Tapi apa mungkin bisa maafin ana?"

"Jawaban itu ente yang bakal tau kedepannya."

=========================

Hari-hari telah berlalu. Syaima menjalani harinya sebagaimana biasanya. Hanya saja selalu terbesit kewaspadaan jika nantinya ia bertemu lagi dengan Fathan. Akan aman jika ia pergi bersama dengan Nisa. Ya, Syaima telah menceritakan tentang pertemuannya dengan Fathan beberapa minggu lalu.

Silir angin menghembus pelan, memberi sedikit kesejukan di tengah teriknya matahari siang yang membakar. Hanya awan-awan yang berlalu sekilas memberi sedikit teduhan.

Syaima duduk di bangku taman. Jemarinya tengah asyik memainkan handphonenya. Ia membuka instagram dan di sana terdapat sebuah notif bahwa ia memiliki pengikut baru. Ia melihat siapa yang baru saja mengikutinya. Ia terkejut ketika melihat nama akun @Fathan_Arrazaq.

Ia melihat satu permintaan pesan. Tak salah lagi, Fathan yang mengirimkannya.

[Assalamualaikum, Syaima Hulwa. Bisa kita bicara baik-baik?]

Pesan itu belum lama terkirim. Syaima tak menanggapinya. Ia beralih ke messenger. Di sana pula ada sebuah permintaan pesan. Dan pada pemilik akun yang sama dan isi pesan yang sama pula.

[Kenapa antum buka blokirnya?] Syaima memastikannya karna sebelumnya Fathan telah memblokir facebooknya.

Ting

[Ana cuma mau ngomong baik-baik sama anti.]

Syaima tak menanggapi pesannya. Ia hanya membacanya. memilih untuk kembali menyimpan handphone nya tanpa harus menanggapi pesan yang tidak penting baginya. Ia beranjak pergi hendak pulang.

Di sebrang sana, Fathan nampak kecewa ketika mengetahui pesan messengernya hanya di baca. Ia berjalan hendak pergi dari kampusnya. Namun, ia tak sengaja menangkap sosok Syaima yang juga berjalan menuju tempat pemarkiran motor.

Fathan berfikir sejenak, mungkin ini saat yang tepat untuk berbicara. Sambil mengucap basmalah ia menghampiri Syaima yang tengah mencari sesuatu dalam tasnya.

"Syaima," sapa Fathan.

Syaima terkejut. Bagai setan yang selalu tiba-tiba muncul di hadapannya. Buru-buru Syaima mengeluarkan kunci motornya dan hendak menancapkannya. Namun, Fathan mencegahnya dengan menutup lubang kuncinya.

"Minggir ana mau pulang!" Sahut Syaima ketus

"Tolong dengerin ana, sebentar aja."

Syaima mengalah, ia mengalihkan pandangan ke arah lain dan terdiam, siap mendengarkan.

"Anti kenapa sebegitu benci sama ana."

Syaima menoleh menatap mata Fathan tajam. Mata mereka saling bertemu dengan pancaran yang berbeda.

"Antum masih tanya kenapa ana benci antum, ha? Ana balik tanya sama antum kenapa beraninya antum katain ana murahan sedangkan antum aja nggak kenal siapa ana?"

Fathan terdiam. Ia tak mampu menjawab pertanyaan Syaima. Memang benar dulu ia mencaci Syaima tanpa perasaan, melontarkan kalimat-kalimat kasar yang tak seharusnya.

Syaima mengeluarkan handphonenya dan menunjukkan sebuah screenshot chatnya dengan Fathan satu tahun lalu. Fathan melihat dan membaca pesan itu, memori terputar mundur pada kejadian setahun lalu. Sungguh, tanpa berfikir Fathan melontarkan segala kalimat kasarnya hanya karena merasa terganggu oleh pesan-pesan yang Syaima kirim.

"Maaf ..."

TBC___

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang