Nisa mendongak, matanya terbelalak setelah mendapati laki-laki berwajah chinese itu di hadapannya, "Kamu ..."
Nisa hendak beranjak pergi. Namun, Fathan mencegahnya, membuat langkahnya terhenti seketika.
"Tolong ... Dengerin ana bentar," lirih Fathan memohon.
Nisa membalikkan badannya, menghadap ke arah Fathan dengar tatapan datar. Ia melipat kedua lengannya, menunggu Fathan berbicara.
"Ana tau ana salah, ana udah nyakitin hati Ima sahabat anti," ujar Fathan.
"Baru sadar kamu? giliran kamu lihat wujud Ima secara langsung kamu sekarang mohon-mohon minta maaf sama dia? Itu mata kamu tolong dihijabi ya. Ima nggak butuh nafsu busukmu!"
"Ana tulus mau minta maaf sama dia. Bukan karna memandang fisiknya. Toh Ima pun pakai cadar, ana nggak pernah lihat wajahnya."
"Basi!" cerca Nisa disusul oleh langkahnya hendak meninggalkan Fathan di tempat.
"Ana kagum sama dia." Ucap Fathan berterus terang.
Mendengar ucapan itu, Nisa spontan menghentikan langkahnya. Apa yang baru saja ia dengar? Fathan jatuh pada Ima? Apa iya tidak salah dengar? Masih menunggu kalimat selanjutnya yang akan di ucapkan oleh Fathan tanpa membalikkan badan sembari terdiam.
"Setiap ana lihat dia, batin ana selalu mengucap asma Allah. Ana kagumi dia bukan karna fisiknya, tapi karna caranya menjaga dirinya."
Nisa berbalik dan kembali melangkah mendekat kearah Fathan. Nisa menatap tajam wajah tampan yang tengah menunduk penuh sesal.
"Fathan Habibullah Ar-Razzaq, kamu kagum sama sosok Syaima?" tanya Nisa.
Fathan tak angkat bicara, ia hanya mengangkat wajahnya menatap Nisa dengan tatapan sulit ditebak.
"Tolong ngaca! Fakboy macam kamu apa pantas disandingkan dengan wanita sholehah macam Ima?"
Nisa berlalu meninggalkan Fathan di tempat. Fathan tertunduk merenung. Ia mengambil handphonenya dan membuka instagramnya. Ia melihat jumlah pengikutnya dan melihat komentar-komentar pada postingannya.
Ia menurunkan tangannya sambil mengeratkan pegangannya pada handphonenya. Hatinya perih. Ia menyadari akan dirinya yang terlalu mencintai ketenaran.
Masih adakah waktu bagiku untuk berubah? Aku ingin menjadi laki-laki yang baik. Ketenaranku tidak ada gunanya bagi akhiratku. Batinnya.
======================
Seiring berjalannya waktu, Syaima menjalani masa kuliahnya dengan sempurna, dan kini ia telah menginjak semester empat. Sudah banyak laki-laki yang mengajaknya serius. Namun, Syaima menolak karena masih ingin menikmati masa kuliahnya.
Ia berjalan menuju motornya yang terparkir di depan Goro Assalam Hipermart.
"Ima!" Seseorang memanggilnya.
Syaima menoleh sekilas menatap ke arah pusat suara. Setelah menangkap sosok yang memanggilnya, ia justru melangkah lebih cepat setelah tau siapa yang baru saja memanggilnya.
"Ima, ana mohon dengerin ana ...."
"Apa lagi?!" gertak Syaima sembari membalikkan badan, menghadap pria yang terus bersikeras mengajaknya berbicara.
"Sebenci inikah anti sama ana, Ima?"
Ima terdiam. Ia hanya menatap Fathan tajam, mata indah itu memancar penuh kebencian pada Fathan.
"Sulitkah memaafkan ana, Ima?" Fathan mengulang pertanyaannya.
Syaima mengeluarkan handphonenya, memainkan jemarinya di atas layar, mencari-cari sesuatu yang hendak ia tunjukkan. Ia memperlihatkan layarnya tepat di depan wajah Fathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas Benci
RomanceSyaima, gadis bercadar yang sudah hafal Al-Qur'an itu kembali menjalankan studinya di UNS. Dan di situlah awal pertemuannya dengan Fathan. Lelaki yang sangat di bencinya. Namun, pernah pula mengisi hatinya. "Kenapa Anti benci banget sama Ana?" tanya...