Kajian berjalan dengan mulus. Intonasi Fathan, juga cara penyampaiannya begitu enak didengar sehingga tak membuat para audience bosan.
Syaima yang setia menyimak mengakui, ilmu Fathan bahkan bisa dibilang di atas dirinya. Dan caranya menundukkan pandangan pun terlihat jelas. Fathan, jarang sekali melirik ke area akhwat.
Sampai di sesi tanya jawab. Fathan terduduk di kursi yang disediakan oleh panitia. Ia mempersilahkan pemirsanya bertanya, dan jawabannya selalu memuaskan.
"Maaf, kak. Berbicara tentang tema kita pula. Apa kakak sudah siap juga buat melangkah hingga ke jenjang pernikahan?"
Huh, kenapa ada pula yang lancang menanyakan hal itu? Kenapa berani sekali bertanya seperti itu kepada seorang ustadz muda?
"Ehem," Fathan berdehem, bersiap menjawab, "Bertanya masalah langkah menuju pernikahan. Tenang, saya sudah memulai proses, tinggal menunggu dari pihak akhwat, menerima saya atau tidak." Jawab Fathan dengan senyuman di sana.
Sorak kehebohan area akhwat pun pecah. Bahkan ada pula yang mendengus kesal, setelah tahu Fathan telah memilih seseorang.
Syaima menatap Fathan yang masih duduk sembari menggenggam microphone itu. Dan diam-diam, mata Fathan pula menangkap sosok gadis bercadar yang tengah memandangnya. Saling bersitatap dari jarak kejauhan.
Oh hati, tidak bisakah kau menyatu dengan keadaan? Aku rasa kau mulai luluh sekarang. Ada apa denganmu? Apakah luka lama itu telah sembuh? Dan luka baru hendak terbalut? Ah entahlah, tak ada yang bisa menebaknya.
===============
"Assalamualaikum, Fathan."
"Waalaikumussalaam, Abah. Ada apa menelfon Fathan?"
"Ke rumah Abah sekarang! Ima mau kasih tau jawaban dia ke kamu."
Fathan menelan saliva. Jantungnya berdegup hebat. Inilah penentunya, akankah Syaima menjadi takdirnya atau bukan.
"Iya, Bah. Fathan kesana sekarang."
Tanpa basa-basi, Fathan langsung mengambil air wudhu, agar wajahnya nampak segar. Ia sisir rambut lurusnya itu dan memakai minyak wangi terbaiknya.
Fathan meraih kemejanya, dan berpakaian Serapi mungkin. Padahal Syaima hanya akan memberi jawaban, dan entah itu ia diterima, atau bahkan .... Ditolaknya.
================
Syaima sudah duduk bersebrangan dengan Fathan, berjarak satu setengah meter. Sedang Abah Ammar mengantarai mereka, bersama dengan Ummi Ifah. Syaima terus menunduk. Begitu pula Fathan.
"Fathan, tadi Ima sudah kasih tau jawabannya ke Abah." Ucap Abah Ammar.
Jantung Fathan semakin berdebar. Ia menggigit sisi bibir bawahnya, menyembunyikan kegugupannya.
"Tapi alangkah baiknya jika kamu mendengarnya langsung dari Ima." Sambung Abah.
Abah Ammar menoleh ke arah Syaima yang masih setia menunduk. Degupan jantung Syaima tak kalah hebat. Di balik cadarnya itu, pipinya sudah terlanjur merona.
"Ulangi jawabanmu tadi, Ima. Apa kamu bersedia menikah dengan Fathan?"
Abah Ammar bertanya lagi. Syaima mulai sedikit mengangkat wajahnya. Menatap Fathan sekilas.
"Bismillah, Ima siap menikah dengan Fathan, Bah."
Mendengar itu, Fathan mendongak tak percaya. Awalnya ia berfikir akan menerima penolakan dari bibir Syaima. Tapi dugaannya salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas Benci
RomanceSyaima, gadis bercadar yang sudah hafal Al-Qur'an itu kembali menjalankan studinya di UNS. Dan di situlah awal pertemuannya dengan Fathan. Lelaki yang sangat di bencinya. Namun, pernah pula mengisi hatinya. "Kenapa Anti benci banget sama Ana?" tanya...