Lima

97 10 0
                                    

"Maaf ..."

"Apa kata antum? Maaf? Telinga ana nggak salah dengar, kan?"

Syaima mulai tersulut amarah. Luka hatinya yang masih membekas awet memberi rasa panas yang menyeruak memenuhi rongga dada.

Tangan lentik lain berbalut sarung tangan menepis kasar tangan Fathan yang menghalangi Syaima. Ada gadis lain yang menatap Fathan penuh kebencian. Fathan memandangnya dengan sorot mata tak suka. Gadis itu baru saja mengganggunya.

"Jangan ganggu Ima!" Gertaknya.

"Siapa kamu? Nggak usah ikut campur!" Ketus Fathan.

"Aku Hilwatun Nisa, pemilik akun yg pernah Ima pinjam cuma buat minta maaf ke manusia sombong kaya kamu." Jawab Nisa dengan intonasi tinggi.

Fathan terdiam. Ia memang tak begitu mengenal gadis cantik berbalut pashmina biru yang ada di sisi Syaima, tapi ia mampu menebak bahwa gadis itu juga sangat membencinya.

"Ayo, Ma. Kita pulang! Nanti sore ada kajian. Kamu siapin materi dari pada buang-buang waktu sama fakboy sombong macam dia." Nisa menyindir sambil melirik tajam ke arah Fathan.

Bertubi-tubi Nisa lontarkan hinaan untuk memojokkan Fathan. Tak salah lagi, itu semua karna Syaima telah menceritakan pertemuannya dengan Fathan tempo hari.

Syaima mulai menancapkan kunci dan menstater motornya. Berlalu meninggalkan Fathan ditempat. Menyisakan perasaan kacau dalam benak Fathan yang kini terpenuhi rasa penyesalan.

Fathan hanya memandangi Syaima yang telah berlalu mengendarai motornya. Fakboy, kata itu benar-benar membuatnya berfikir. Seburuk itukah dia.

==========================

"Lho, Farhan?"

"Ima?"

"Antum bisa ada di sini?" Tak sengaja mereka serempak melontarkan pertanyaan yang sama.

Ya, karna sama-sama bertemu di halaman rumah Ummi Iffah. Syaima menunduk, tersipu karna tanpa sengaja berucap serempak melontarkan tanya yang sama dengan Farhan. Farhan pula salah tingkah menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Ekhem, kompak banget sih?" goda Nisa.

Syaima menyiku pinggang Nisa, menegur ucapan nyelenehnya. Nisa hanya tersenyum meledek.

"Eee, antum mau apa di sini, Ma?" Tanya Farhan

"Ana mau belajar tahsin, Han. Seperti biasa. Antum sendiri?"

"Anu ... Eee ... lagi nunggu Abah Ammar. Mau pergi bareng sama beliau."

"Maasyaa Allah, sudah saling kenal ternyata." Tegun Abah Ammar yang tiba-tiba muncul.

Abah Ammar telah berdiri di ambang pintu rumahnya, menatap ketiga remaja yang baru saja mengobrol di teras rumahnya.

Syaima semakin gugup. Entah kenapa, padahal biasanya ia tak segugup itu. Begitu pula dengan Farhan yang tersenyum gugup.

"Ya sudah, Ima. Monggo masuk. Ummi Iffah di dalam."

"Afwan, Abah. Ima ndak bisa masuk. Abah masih di pintu."

"Oh iya ya, Abah lupa. Hehe."

Mereka bertiga tertawa kecil melihat kehumorisan Abah Ammar. Abah Ammar keluar dan mempersilahkan Syaima dan Nisa untuk masuk.

Farhan masih memandang ke arah pintu, memandang Syaima yang tak lagi terlihat.

"Farhan, hayo ghadul bashor!" tegur Abah Ammar.

"Astaghfirullah. Iya Abah. Kita berangkat sekarang."

"Kamu yang bawa motor, ya!"

"Iya, Bah."

==========================

Ponsel Farhan berdering di tengah perjalanannya menuju tempat kost. Tertera nama Fathan di layar ponselnya. Ia terdiam sejenak, menebak-nebak bahwa Fathan akan mengatakan masalah yang sama. Farhan menggeser tombol hijau, menerima panggilan suara dari kawannya.

"Han, ente di mana?" Tanya Fathan dari seberang.

"OTW pulang, bro. Kenapa?"

"Ana mau ketemu ente. Ana tunggu ente sampai kost-an."

"Ok, bro. Bentar lagi nyampek."

Tut.

Farhan berfikir sejenak. Nampaknya ia sudah mampu menebak apa yang hendak Fathan bicarakan. Ia menghela napas, menyiapkan segala solusi dalam kepalanya untuk kawannya nanti. Ia kembali berjalan menuju kost nya.

===========================

"Syaima lagi?" Tanya Farhan memulai pembicaraan.

"Ana jahat banget ya, bro? Sampai-sampai ana di benci banget sama dia."

Farhan menepuk pundak Fathan. Fathan masih menunduk. Wajah tampan chinesenya itu nampak sendu.

"Ente coba ngomong baik-baik sama Nisa. Dia karibnya Ima yang paling bisa ngebuka hatinya." Saran Farhan.

Fathan menelan ludah. Ia menoleh ke arah Farhan, "Ana nyesel, bro, udah nyakitin hati dia. Ana bener-bener tulus mau minta maaf."

Kelopak mata Fathan nampak tengah membendung air matanya yang hendak memberontak keluar. Rasa sesalnya terlanjur mendalam.

"Do'a, bro. Biar hati Ima di buka sama Sang Pemilik Hati."

Farhan meraih cangkir berisi coklat hangat dan menyeruputnya.

"Ana jatuh sama dia, bro." Ungkap Fathan.

Farhan sedikit tersedak dengan minumannya sendiri. Terkejut mendengar ungkapan Fathan yang baru saja di lontarkan.

"Ente jangan macem-macem sama Ima, bro! Dia cewek baik-baik. Bukan kaya cewek-cewek yang ente post di SG ente."

"Ana serius, bro. Setiap ana lihat dia,l seakan ana bener-bener lihat perhiasan dunia. Ana setiap liat dia pun langsung buat batin ana ngucap nama Allah." Jelas Fathan

"Belum saatnya, bro. Dia bukan type cewek yang bisa Nerima kenyataan kalau ada laki-laki yang jatuh sama dia. Dia pun nggak suka dengan ketenaran. Dia pakai cadar karna pengin lindungin wajah dia karna banyak cowok yang suka sama dia."

Fathan terdiam. Entah bagaimana Syaima berhasil mengisi hatinya. Sebelumnya, Fathan menyukai seorang gadis karna melihat tampang cantiknya. Namun, untuk kali ini, karena hatinya terketuk oleh perhiasan dunia yang mana kecantikannya tak pernah terjamah oleh pandangannya.

Fathan kembali menunduk. Ia mulai intropeksi dengan dirinya sendiri. Menyadari betapa buruknya dirinya. Air matanya akhirnya berhasil mengaliri lekuk pipinya.

"Ente coba bicara sama Nisa. Ana nggak bisa bantu lebih, bro. Ana punya batas sama, Ima. Dan ana juga nggak mau ikut campur masalah kalian."

=========================

Nisa tengah duduk santai di bangku taman sambil mengotak-atik handphonenya, menunggu Syaima hendak mengajaknya makan siang di luar. Ia asyik sendiri tanpa memandangi sekitar, tanpa ia sadari seseorang menghampirinya.

"Nisa ...." Orang itu menyahut menyapa Nisa dengan ragu.

Nisa mendongak, matanya terbelalak ketika melihat laki-laki berwajah chinese itu di hadapannya, "Kamu ..."

TBC___

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang