Sembilan

66 10 1
                                    

Seluruh acara berjalan sepenuh mulus. Syaima benar-benar puas dengan cara kerja anggotanya yang saling bekerja sama dan tidak saling berdebat, juga memprotes.

Syaima masih membereskan kertas yang harus ia kumpulkan. Nisa mendekatinya, dan duduk di sampingnya.

"Mau aku bantu, Ma?" Tanya Nisa.

"Nggak usah, Nis. Cuma ngumpulin ini jadi satu biar nggak berantakan aja. Nih, udah selesai."

Nisa memandang ke depan. Melihat Azzam yang tengah berbincang dengan orang lain. Ia tersenyum sendiri. Dari dulu, ia memang mengagumi sosok gagah nan tampan itu. Hanya saja, ia memendamnya.

Syaima menoleh ke arah Nisa. Ia bingung kenapa karibnya itu tersenyum sendiri. Ia melihat apa yang tengah Nisa pandang. Dan ia mengerti.

"Alah, ada uang lagi kesemsem nih." Sindir Syaima.

Nisa tak menggubris. Ia asyik memandangi Azzam yang kini tinggal sendiri dan tangannya masih sibuk pada ponselnya.

"Ya Allah, Nis. Khusyu' banget sih liatinnya."

Nisa terperangah. Ia baru sadar bahwa Syaima berbicara padanya.

"Apa, Ma?"

Syaima menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan karibnya sendiri.

"Cie ... Yang lagi kesemsem." Goda Syaima sambil menyiku.

"Apa, sih, Ma." Ucap Nisa tersipu.

"Aku do'ain deh moga jodoh, ya."

"Iih, Ima." Ujar Nisa malu sambil mencubit lengan Syaima, yang hanya di sambut dengan tawa.

====================================

"Ima, sekarang udah semester tujuh 'kan?" Tanya Abah Ammar usai Syaima mengisi kajian di rumah beliau.

"Emm ... Iya, Bah."

"Umur kamu berapa?" Abah Ammar melanjutkan pertanyaan.

"23, Bah."

"Udah matang, ya. Bukan begitu, Ummi?"

Ummi Ifah yang mengantarai Syaima yang tengah diajak mengobrol oleh suaminya, mengangguk. Dan di situ pula, Nisa masih duduk di sampingnya.

Syaima mulai menebak-nebak arah pembicaraan Abah Ammar. Ini soal menyempurnakan separuh agama. Dan itulah yang Syaima belum siap.

"Ima anak yang sholihah. Anak yang sangat baik. Sudah empat tahun Abah sama Ummi kenal sama Ima." Ummi Ifah menyambung.

"Ima, ada Ikhwan Sholih yang ingin meminang Ima. Orangnya baik, pengertian, lembut. Berilmu juga."

Deg.

Dugaannya benar. Syaima benar-benar belum siap. Ia ingin menyelesaikan studinya terlebih dahulu.

"Eee ... Kalau boleh tau, ikhwannya siapa, Bah?" Tanya Syaima gugup.

"Azzam."

Deg.

Bagai belati yang menghujam jantung Nisa. Ia terkejut bukan main. Hatinya perih ketika mendengar nama itu disebut. Selama ini, laki-laki yang ia sebut namanya dalam do'a, justru mendambakan karibnya sendiri.

Syaima terdiam sejenak. Tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu. Ia tau bahwasannya karibnya yang berada di sisinya tengah memendam rasa pada laki-laki yang baru saja Abah Ammar sebut.

"Tapi, Bah. Ima belum siap."

"Istikhoroh dulu, sayang. Azzam laki-laki yang baik. Jangan terlalu cepat ambil keputusan." Sahut Ummi Ifah.

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang