Delapan

75 10 1
                                    

Fathan menggigit sebelah bibir bawahnya. Akankah Syaima benar-benar akan membuka cadarnya?

Syaima menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia takut ada mata laki-laki yang melihat. Ia sedikit ragu. Namun, setelah memastikan tidak ada laki-laki, ia mulai mengangkat tangannya, hendak menurunkan cadarnya.

Fathan semakin berdebar. Entah kenapa ia nampak gugup ketika tangan itu telah terangkat hendak menurunkan kain cadar yang menutupi wajah gadis yang berhasil membuatnya jatuh.

"Fathan." Panggilan itu mengejutkan Fathan seketika.

Syaima pula mendengar dan kembali menurunkan tangannya, sebelum ia benar-benar membuka cadarnya karna terkejut. Ia mencari-cari pusat suara. Ia merasa takut.

"Ente ngapain, Than?" Tanya Farhan yang berhasil mengejutkannya

"Eeeee ... Nggak kok, Han. Ayo pulang!"

Fathan keluar begitu saja. Farhan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu menyusul.

Jantung Syaima berdebar. Nyaris ia membuka cadar sedangkan ada Fathan yang baru saja terlihat dari luar jendela.

Ketiga gadis yang mengelilinginya nampak faham ketika menangkap wajah Syaima yang nampak tegang. Mampu terbaca mimik wajahnya walau tertutup cadar.

"Hampir aja, kak," celetuk salah satu dari mereka.

"Iya, nyaris," sambung Syaima. "Ya udah, nanti aja ya kalau kakak ngisi kajian lagi. Insyaa Allah kakak buka cadar."

"Iya, kak." Jawab ketiganya serempak.

===========================

Hari-hari berjalan begitu mulusnya. Kegiatan demi kegiatan IRMS berjalan dengan sepenuh lancar. Atas komando dari para ketua yang begitu bertanggung jawab, segalanya nampak ringan karna kerja sama.

Usai forum membahas akan diadakannya tabligh Akbar yang hendak mereka selenggarakan, seluruh anggota behambur hendak beristirahat menuju tempat tinggal masing-masing.

Fathan menghampiri Abah Ammar yang berdiri hendak keluar. Ia memanggil kemudian menjabat tangan beliau.

"Abah, bisa mengobrol sebentar?" Pintanya.

"Tentu saja, Fathan."

"Abah sudah kenal Fathan?" Tanyanya memastikan.

"Oh tentu, kan kamu sering ngajak Abah diskusi. Sering tanya-tanya."

"Ehehe ... Syukur kalau Abah sudah kenal Fathan."

Keduanya kembali duduk. Fathan masih ragu ingin menyampaikan hal telah lama mengganjal di hatinya.

"Mau ngobrolin apa, Than?" Tanya Abah Ammar membuyarkan lamunannya.

"Eee ... Begini, Bah. Fathan pernah buat salah sama seseorang. Tanpa Fathan tau dia orang baik. Sekarang Fathan mau minta maaf tapi dia nggak pernah merespon Fathan, Bah."

Abah Ammar nampak mengelus jenggotnya yang tidak terlalu lebat itu.

"Itu laki-laki? Atau perempuan?"

"Akhwat, Bah."

"Eemmmm .... Abah boleh tau siapa orangnya? Barangkali Abah kenal."

Lagi-lagi Fathan gugup. Jari telunjuknya memainkan ujung celananya.

"Eee ... Abah kenal banget sama orangnya."

"Abah banyak kenal ini sama akhwat karna banyak mengurus proses ta'aruf. Abah nggak mungkin bisa nebak, Fathan sholih." Ucap Abah Ammar sedikit geram.

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang