Dua Belas

93 9 1
                                    

Sampai di tempat kost, Syaima masuk ke dalam kamarnya. Ia letakkan tasnya lalu duduk di atas tempat tidur. Ia lepas cadar yang menutupi wajahnya. eyang begitu manis mempesona itu tengah pilu. Sepilu hatinya yang kini menangis histeris.

Syaima kembali mengambil secarik undangan yang diberikan Farhan padanya. Ia terus memandangi nama yang tertera di sana. Air matanya kembali keluar, ia mengambil boneka Teddy yang entah pemberian siapa. Ia peluk boneka itu.

Kini wanita ayu itu tengah menangis terisak. Tubuhnya berguncang hebat. Sungguh, memilukan. Siapapun yang melihat tangisannya akan merasa iba.
Syaima menatap ke langit-langit kamarnya, tatapan pilu penuh harap.

'Ya Allah, lima tahun lalu aku mengagumi seseorang dan Engkau tak meridhoinya. Untuk waktu itu aku ikhlas dan lapang selapang-lapangnya karena aku salah menempatkan rasa kagumku. Tapi ketika aku mengharapkan lelaki sholih Engkau pun tak meridhoinya. Sulit bagiku untuk menelan takdir ini, Ya Allah, siapakah yang mampu mengobati luka hatiku saat ini? Harapanku selama ini telah pupus, Ya Allah. Kuatkan aku." Batin Syaima semakin terisak.

=======

Hari puncak patah hati Syaima pun tiba. Syaima tak ingin mengecewakan sepasang pengantin yang telah menyisihkan satu undangan untuknya. Ia berusaha menguatkan hati, dan berharap air matanya tak tumpah saat itu juga.

Akad nikah telah berlangsung. Syaima sengaja tak ingin menyaksikan akad. Ia takut tak mampu membendung air matanya nanti.

Mata bulat itu menangkap pemandangan yang begitu menyayat hatinya. Kursi pelaminan yang telah didukuki sepasang pengantin yang baru saja halal.

Tubuh tegap yang berbalut jaz hitam dengan sebuah songkok yang membuat pempelai laki-laki itu begitu menawan, tengah duduk bersisian dengan gadis bergaun putih indah mempesona dilengkapi dengan cadar yang menutupi wajahnya itu. Seketika membuat mata gadis sholihah itu mengembun. Namun, terus ia paksakan agar buliran hangat itu tak terjatuh sedikitpun.

Syaima kuatkan hati dan menstabilkan fikirannya, menarik nafas sejenak berharap beban hatinya bisa ia letakkan sebentar. Langkahnya mengayun, hendak memberikan ucapan selamat, juga doa terbaik untuk kedua mempelai yang tengah bahagia.

"Kak Ima." Teguh Haura.

Syaima memeluk Haura, berusaha berbahagia di atas kebahagiaan gadis ayu yang tengah ia peluk itu.

"Barakallah lakumaa. Semoga samawa sampai jannah nanti."

"Aamiin, kak. Haura tunggu undangan kak Ima. Semoga kak Ima cepat duduk di pelaminan juga, dan dapat yang terbaik."

"Aamiin."

Syaima menoleh pada mempelai laki-laki. Entah mengapa hatinya semakin sakit ketika melihat senyuman itu terlontar. Menahan dan terus menahan agar mata tak lagi memanas.

Ia simpan rasa sakit itu. Memaksakan senyumannya tersungging di atas kepedihan hatinya, yang entah seberapa dalam luka itu.

"Baarakallah, Farhan. Semoga samawa, ya."

"Aamiin. Cepat nyusul."

"Doakan saja."

Syaima berjalan menuju kursi tamu yang telah disediakan. Ia duduk dan menatap Farhan yang duduk di pelaminan. Syaima tak mampu lagi menahan air matanya. Akhirnya buliran hangat itu berhasil memberontak keluar.

Tak ingin ada siapapun yang melihatnya, ia menunduk dan segera mengusap matanya. Tenggorokannya terasa sakit karena terus menahan tangis.

"Ima." Panggil Nisa yang tiba-tiba datang mendekat.

Cinta di atas BenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang