12

1.3K 147 4
                                    

Aku sama Gilbert lagi mengintip ke arah paviliun belakang. Soalnya di paviliun itu seperti ada yang mencurigakan. Bukan yang mencurigakan gimana, tapi sesuatu itu memang berwujud manusia. Hanya saja manusia itu tidak bisa berjalan normal. Karena harus dibantu dengan sebuah alat bernama kursi roda.

"Aku juga tadi lihat dia, Gil. Tapi, dia siapa ya?"

"Mungkin cucunya kakek mafia juga?"

Kita gak bisa melihat jelas, karena orang itu ditutupi selimut. Di kepalanya ada topi, dan matanya ditutupi kacamata hitam juga.

"Lagi ngintipin siapa, hayoo?"

Aku sama Gilbert tadinya gak tahu kalau orang yang tiba-tiba ikutan mengintip itu Kak Nino. Pas tahu, kita berdua jadi malu banget.

"Dia itu Mas Pandawa, sebaiknya kalian tidak usah dekat-dekat dengannya."

"Kenapa gak boleh, kak?"

"Orangnya galak dan nyeremin. Lebih galak dari Mas Rama."

Biarkan aku berfikir sejenak. Mencerna perkataan Kak Nino barusan. Apa iya, orang lemah tak berdaya yang duduk di atas kursi roda itu lebih galak dan mengerikan dari si tuan pemarah?

"Sudah puluhan perawat yang datang silih berganti untuk merawatnya. Tapi tidak ada satupun dari orang-orang itu yang mampu bertahan lebih dari dua hari!"

Disitulah ide jeniusku muncul. "Gilbert, kamu kan tidak ada kesibukkan. Gimana kalau kamu jadi perawat aja? Kan badan kamu besar dan perut kamu bisa membal. Pasti kamu juga tidak akan kesakitan kalau dipukul sama orang itu."

"Kalau aku ditusuk? Nanti kempes gimana, Ody?"

"Ahhh iya, bahaya juga."

"Gimana vilanya? Sayang hujan ya.." Kak Nino berpindah ke kasur. "Kalau aja gak hujan, aku ajak kalian ngeliat-liat kebun strawberry."

Aku dekatin saja Kak Nino. "Perasaan aku pernah lihat Kak Nino. Tapi dimana ya?"

Dia tersenyum. Giginya rapih dan kinclong banget. Hidungnya juga gak kalah lancip dari Pak Rama.

"Kan kita satu meja waktu tes ujian masuk perguruan tinggi."

"Ohhh iya. Aku lupa. Tapi aku inget deh. Dari giginya. Hhihi..."

"Ikut yuk, Dy."

"Kemana?"

"Ada deh..."

"Gilbert, kamu diem dulu ya jagain kamar. Siapa tahu aja ada ninja gunung nanti."

"Oke, Ody. Aku akan menutup jendela dan bersiaga di pintu."

Sampai di ruang keluarga, Om Gerald lagi menyalakan perapian dengan kayu bakar yang ditumpuk-tumpuk. Sementara kakek mafia, lagi duduk-duduk di kursi malasnya sambil menikmati air jahe panas.

"Cloudy ---"

"Iya, kakek."

"Kakek minta maaf ya, ternyata sampai disini harus hujan besar."

"Tidak apa-apa, kek. Asal tidak banjir, aku bisa tenang. Soalnya aku kasihan sama Gilbert. Dia kan gak bisa lari kencang."

"Sebentar lagi makan malam. Jangan tidur dulu?"

"Oke, kakek."

Bu Clara, Bu Cindy dan pembantunya kakek mafia lagi beres-beres di meja makan. Pembicaraan mereka kelihatan ramai dan seru sekali. Aku berharap, semoga saja mereka menyediakam mie rebus soto kesukaanku dan Gilbert.

"Ini kamarnya si tuan pemarah. Dia sepertinya masih mabok perjalanan." Kak Nino bisik-bisik.

Aku diajak ke kamarnya Kak Nino. Kamarnya memang seluas kamarku dan Gilbert. Tapi disini hawanya dingin sekali. Bikin aku merinding jadinya.

CLOUDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang