Hari ini kepala Haechan gak bisa berpikir jernih ketika harus dibuat mikirin yang berat-berat. Rasanya kepalanya mau meledak kayak bom atom di rumus kimia.
Beneran deh pusing banget.
Suasana hatinya aja mendadak kelabu. Haechan bener-bener lesu denger kabar masalahnya yang semakin rumit begini.
Haechan bener-bener ngerasa bersalah banget sama Seungmin yang harus kena imbasnya. Padahal Haechan udah berpikir hal ini gak bakal terjadi. Tapi Guanlin bangsat malah ngadu ke kepala sekolah.
Pantas aja papa waktu itu pernah mengintrogasi Haechan yang ngerokok atau enggak waktu ada di rumah sakit.
Ah, kacau kan jadinya.
Mana badannya lemes. Haechan gak habis pikir sama masalahnya yang ditimpa bertubi-tubi. Belum juga batinnya yang tersiksa. Haechan gak bisa berbuat apa-apa selain diam meredamnya dengan sendiri.
Langkah Haechan yang terkesan pelan-pelan ini tiba-tiba sampai gak sadar memasuki area pemakaman umum.
Haechan berhenti sejenak. Tiba-tiba dadanya bergemuruh dan dicampur rasa sesak yang menghantam dadanya.
Yakin gak ya? Tapi—ah Haechan benar-benar penakut!
Ini sudah hampir sejak kejadian itu dan sampai sekarang Haechan gak pernah berziarah ke tempat yang banyak gundukan tanah ini.
Haechan terlalu takut jika ingatan itu bakal buat mentalnya makin gak waras. Dan Haechan benci ketika orang-orang bilang Haechan gila.
Kakinya yang bergetar Haechan biarkan terduduk di rumut dekat gundukan tanah seseorang yang bener-bener berpengaruh di hidup Haechan.
Mata Haechan udah dipenuhi sama air mata yang siap-siap keluar kapan aja. Hatinya bener-bener sakit kalau dipaksa mengingat semua ini.
"Kakak.."
Haechan memeluk kedua lututnya erat. Menenggelamkan rasa sakit yang malah semakin menjadi-jadi di hatinya.
Haechan menangis sesenggukan. Bahkan sampai meraung-raung. Haechan hanya belum siap buat mengingat semuanya dengan utuh.
Papa selalu berpesan sama Haechan buat gak perlu mengingat-ingat kejadian itu. Tapi sekarang tanpa disangka ingatan itu berputar-putar di kepalanya.
"S-sakit.."
"Kakak kenapa ninggalin Haechan?!?"
Haechan terus menangis gak peduli sama udara yang semakin dingin dan langit yang berubah menggelap.
Kepingan ingatan itu masih berputar-putar di kepala Haechan. Tentang kakaknya yang berjalan menjauh dan tiba-tiba banyak darah karena pisau yang menancap di dada.
Rasanya benar-benar sakit. Dada Haechan terhimpit buat dia gak bisa napas. Tangan Haechan memukuli dadanya yang semakin sesak.
"Ha-harusnya Haechan waktu i-itu nolongin kakak..." Haechan memejamkan mata gak sanggup lagi.
"Haechan jahat banget. Pantes aja hidup Haechan gak pernah tenang."
Haechan ingat banget butuh perjuangan dia buat bangkit setelah semua itu terjadi. Mental Haechan waktu itu benar-benar memperhatikan.
Haechan kecil liat semua kejadian kakaknya Taeyong yang dibunuh sama penjahat dan seolah gak sampai itu aja. Mama sama papa cerai karena udah gak cocok sama-sama lagi.
Haechan waktu itu yang masih kecil sampai mengalami trauma yang gak main-main. Haechan cuma bisa bolak-balik ke psikolog saat semua anak seumuranya pada main dan sekolah. Haechan harus fokus sama penyembuhannya.
Makanya papa khawatir banget setiap Haechan udah mulai menyebut dirinya sebagai pembunuh dan merusak kebahagiaan keluarganya sendiri.
Haechan keliatan jahat banget ya?!
Haechan itu anak yang kuat, papa tau itu. Buktinya Haechan masih bisa bertahan sampai sekarang. Tapi kenapa sialnya ingatan itu harus datang sekarang.
Haechan gak mau semakin terpuruk.
Dada Haechan semakin lama jadi nyeri dan bener-bener sesak karena diajak nangis terus.
Posisi Haechan masih tetep sama. Matanya udah sembam banget. Haechan keliatan kacau dan lemes gak ada tenaga.
Tapi untungnya handphone Haechan bunyi dapet telphone dari Renjun. Sebelumnya banyak banget sih sambungan telphone sama pesan mausk dari papa sama kedua kakaknya tapi Haechan memilih mengabaikannya dan anggat telephone dari Renjun.
"DI MANA LO ANJRIT?!? BIKIN ORANG KHAWATIR AJA!"
"G-gue.. ada—"
"NGOMONG YANG JELAS. CEPETAN DI MANA?!?"
"Gue di kuburan."
Haechan mengrenyit karna denger suara batuk Renjun yang keras banget. Mungkin anak itu keselek handphonenya sendiri kali pikir Haechan.
"HAH?!?!" Haechan sampe jauhin ponselnya jauh-jauh dari telinganya.
"Iya gue di kuburan. Buruan jemput, lemes anjir."
"Bangsat! Suruh siapa lo di situ. Mana di kuburan. Awas aja lo entar, sukurin entar lo liat mbak kunti."
Haechan melotot kenapa harus bawa-bawa mahluk yang hobi nangis dan nangkring di pohon sih.
"Renjun gak lucu. Cepetan jemput gue!"
"Dih merintah. Siapa lo?!"
"Injun please.. gue udah lemes banget."
"Ck, iya. Lo baik-baik di sana awas gak usah ke mana-mana."
Setelah itu sambungan telephone terputus. Haechan mencoba bangun dengan sisa-sisa tenaga untuk keluar dari pemakaman.
Gila aja. Haechan cuma jalan deket aja rasanya mau oleng. Kakinya bener-bener lemes sama kepalanya yang mendadak pusing.
Haechan berjongkok di depan area pemakaman nungguin Renjun yang dateng. Dan gak butuh waktu lama Renjun tiba-tiba udah ada di depannya.
"Chan bangun kita pulang. Lo masih kuat gak. Seneng banget sih bikin keluarga lo panik?!?" Renjun dateng-dateng ngomel buat kepala Haechan rasanya mau pecah.
"Jun, gak mau pulang."
"Hah, terus lo mau ngapain?!"
Haechan malah menggeleng. Gak ngaca banget padahal muka Haechan tuh udah pucet banget sama keringatan.
"Yakin chan gak mau pulang? Ngeri anjir di sini."
"Iya."
"Ke rumah gue aja anjrit kalo gitu. Biar papi gue yang bilang ke papa lo."
Haechan cuma mengangguk mengiyakan ucapan Renjun barusan.
"Jun lemes banget, kayak mau mati."
"MULUT LO ANJIR MINTA SLEPET!"
|
Sesungguhnya vot sama comen itu bisa nambah amal jariyah kalian loh, so let's to give me vot and commen to uri fullsun, sunflower😌☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
fake feeling ; haechan ✓
Fanfiction[don't forget to follow brillantemine] ─ haechan and his universe have been lost. ⚠️ post about : mentalillness, depression, blood, traumatic, self injury. END © brillantemine 2020 #1 in mentalillnes #1 in 00l