Perjalanan menuju pos 4 dari pos 3 Emoro Dowo, menghabiskan waktu perjalanan selama 2 jam. Dan mereka semua dengan patuh mengikuti intruksi mas Agung, untuk memakai jacket mereka.
Di gunung Lawu, jika ingin melihat bunga edelwis, para pendaki bisa mendapatinya di pos 4. Mereka sampai di pos 4 saat jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang lewat.Selama di perjalanan menuju pos lima, mata mereka di manjakan dengan penampakan bunga Edelwis yang tersebar di beberapa bagian. Walau tidak bisa memilikinya secara keseluruhan, mereka sudah cukup puas, bisa melihat secara langsung. Contoh salah satunya adalah Rika. Gadis itu berseru kegirangan, saat melihat bunga itu. Angga, ketua tim organisasi mereka saja sampai resah, lantaran geram dengan tingkah Rika. Ia jelas harus mengawasi gadis itu, agar tidak berbuat macam-macam.
Mereka memang memutuskan untuk istirahat sebentar di jalur pos 4. Mas Agung membiarkan para anggota pemula untuk menikmati pemandangan sekitaran mereka, sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Namun beda hal dengan Nata, gadis itu memilih untuk istirahat.
Nafas gadis itu sedikit tersenggal-senggal, lantaran ia memaksakan kakinya untuk bekerja dua kali. Walau Nata memperlihatkan kepincangannya sedikit, percayalah, bahwa gadis itu sedang memaksakan kondisinya.
Elang yang melihat gadis itu seperti kelelahan, akhirnya memutuskan untuk berlutut di depan Nata, setelah melepaskan day pack milik Nata beserta carrier miliknya terlebih dahulu.
“Capek?” tanya Elang prihatin. Laki-laki bahkan langsung melepaskan sepatu Nata, agar ia bisa secara leluasa memijit kaki gadis itu.
Nata menggeleng pelan. Ia masih belum mengatakan apapun, dan lebih memilih mengatur nafasnya sendiri.
“Kakinya masih sakit banget ya?” Elang kembali bertanya.
Nata hanya tersenyum. Ia hanya tidak ingin memberikan kebohongan atau omongan jujur yang berakibatkan semakin kawatirnya semua teman-temannya.
“Kalau sakit, bilang! Gue lebih suka, kalau kita enggak usah ikut muncak, dan nunggu mereka di tenda” tukas Elang jujur.
“Gunungnya enggak akan kemana-mana. Kita masih bisa muncak bareng lagi di lain waktu. Gue pasti selalu ada, kalau lo emang mau muncak. Karna yang penting disini, kesehatan lo. Jangan sampai, lo kehilangan kaki hanya karna mucak sekali” peringat Elang.
Kini mata Nata berkaca-kaca. Ia terlalu egois. Dan omongan Elang memang benar. Bisa saja ia bertahan sekarang, namun nanti, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Ia pasti akan semakin membuat teman-temannya kesusahan karna harus membopong dirinya, padahal ia tahu, bagaimana rasa capeknya untuk muncak.
“Masih sakit” lirih Nata pelan akhirnya berkata jujur, gadis itu bahkan hampir menangis.
Elang terkekeh. Tangan besarnya terangkat ingin menghapus jejak air mata Nata, namun sebelumnya, ia melepaskan sarung tangannya terlebih dahulu.
“Gitu dong!!” ucapnya, lalu mengecup kening Nata lembut.
Perbuatan Elang yang secara spontan itu jelas membuat Nata terkejut. Gadis itu bahkan membelalakkan matanya, karna sanking terkejutnya.
Setelah mengecup kening Nata, Elang bangkit berdiri. Ia juga sebenarnya sedikit terkejut dengan tingkah spontannya. Jangan salahkan dirinya, tapi salahkan Nata, mengapa gadis itu terlihat menggemaskan, padahal sedang menangis.
Elang berjalan menuju tempat mas Agung dan Angga duduk. Mereka bertiga mulai mendiskusikan sesuatu, tentang rencana Elang yang baru. Dan Nata bisa mendengar samar-samar tentang Angga yang menolak rencana Elang. Di tim mereka, ada dua puluh anggota yang ikut, dan hanya lima orang dari mereka yang berpengalaman. Itu termasuk Nata dan Elang. Namun, jika Elang memilih tinggal untuk ngecamp, Angga akan keteteran mengatur anggotanya. Masalanya, ia sedang membawa anak orang disini. Ia ketua organisasi, jadi jelas, ia yang memiliki tanggung jawab besar terhadap seluruh anggotanya.
Nata menjadi merasa bersalah. Ini yang tidak ia inginkan. Menyusahkan orang lain. Ia tidak ingin di cap sebagai gadis egois, karna membawa Elang bersamanya. Maka dari itu, Nata bangkit berdiri. Ia akan ikut bediskusi bersama Elang dengan yang lainnya.
“Maaf menyusahkan kalian” Nata memulai ucapannya dengan nada merasa bersalah. “Tapi, apa yang di katakan Kak Angga itu ada benarnya. Aku bisa ngecamp sendiri. Tenang, ini bukan kali pertama atau kedua aku buat mendaki. Aku bisa jaga diri. Mungkin, efek dari accident yang terjadi kemarin, memakai lebih banyak waktu buat aku pulih. Biasanya enggak seperti ini.” Ucap Nata tersenyum. “sekalian aja, coba di tanya sama teman yang lain, ada yang udah enggak sanggup naik lagi atau enggak? Siapa tahu aku jadi punya temannya” ujar Nata semangat, memberikan opsi.
Jelas tanggapan Nata tidak di setujui oleh Elang. Ia tidak akan membiarkan Nata bersama laki-laki lain, atau jika Nata memang punya teman perempuan, jelas gadis-gadis itu harus memiliki laki-laki di timnya, demi keamanan mereka.
“Kak Angga benar bang! Nata bisa jaga diri kok. Lagiian, kita langsung ketemu besok kan?” Nata menjelaskan kembali, saat Elang menolak permintaan gadis itu.
Sedangkan Angga, sudah terlebih dahulu langsung menanyakan keadaan tim-nya. Seperti perkataan Nata, jika memang ada yang merasa sudah tidak sanggup, boleh ngecamp bareng Nata, untuk menunggu tim lainnya muncak. Dan Adele, yang merupakan tersangka dari lukanya pada kaki Nata, menawarkan diri.
“Ada Adele nih Lang!” ujar Angga semangat.
Elang semakin kesal. Sudah jelas ia mengatakan akan menjaga Nata, dan bersikap egois. Namun sepertinya, tidak ada yang mendengar ucapannya.
“Mereka butuh laki-laki buat ngelindungin, dan gue enggak rela kalau ada cowok lain dekat-dekat cewek gue” kesal Elang keras kepala.
“Tenang bang, gue bisa bela diri kok” ucap Adele bangga.
“Noh, tuh udah ada Adele yang bisa segalanya. Apalagi sih yang lo kawatirkan” kali ini Angga yang kesal.
“Aku enggak apa-apa kok. Kami Cuma ngecamp di sini, dan nunggu kalian satu malam. Kami janji enggak akan pergi kemana-mana” Nata menenangkan emosi Elang. Gadis itu menggenggam tangan Elang, bermaksud mengirimkan ketenangan.
Elang masih terdiam di tempatnya. Matanya menatap mata Nata dengan intens, dan kepalanya mulai memikirkan segalanya.
Percayalah, Elang tidak ingin sama sekali meninggalkan Nata barang satu jam saja, apalagi kini ia di paksa untuk meninggalkan gadisnya selama semalaman. Namun, mata Nata yang menyiratkan permohonan juga tidak bisa Elang abaikan begitu saja. Ya Lord, rasanya Elang ingin membelah tubuhnya, agar bisa tetap bersama gadis itu.
Menghembuskan nafasnya pelan, Elang akhirnya mengangguk. Keputusannya kali ini cukup berat, dan ia harus mempercayakan Nata untuk menjaga diri sendiri.
“I will be okay” janji Nata.
Laki-laki itu kembali mengecup dahi Nata. Kali ini, ia sedikit lebih lama, seakan sedang menyiapkan dirinya.
Melihat persetujuan Elang, Angga akhirnya bisa bernafas lega. Ia bahkan dengan semangat memindahkan beberapa barang ke carier Adele, agar mereka berdua bisa memiliki perlengkapan dan logistik yang cukup.
Elang masih belum melepaskan genggaman tangan Nata, karna masih merasa keberatan tentang opsi itu. Sedangkan yang lainnya, sudah mulai berjalan kembali untuk menuju pos 5.
“Sudah, pergi sana!” usir Nata. Gadis itu berusaha melepaskan gengaman tangan Elang.
“Janji ya, jangan kemana-mana!” Pinta Elang muram.
Gadis itu mengangguk mengiyakan. Kepalanya menggeleng kecil, karna tingkah laku Elang.
Akhirnya Elang mau melepaskam genggaman tangannya, setelah mendengar janji Nata. Ia mulai berjalan, mengikuti langkah teman-temannya yang lain. Dan mas Agung, yang sedari tadi setia menunggu Elang, akhirnya berpamitan, dan mulai berjalan di belakang Elang.
Nata dan Adele hanya memperhatikan kelompoknya pergi dengan berbagai emosi. Nata bisa merasakan Adele menggenggam telapak tangannya dengan kencang, seperti sedang melampiaskan emosinya.
“Maaf ya, aku tahu kamu pengen muncak bareng mereka. Aku sebenarnya sadar, kamu ngelakuin ini karna merasa bersalah” jujur Nata sedih.
Adele berbalik kearah Nata. Bibir gadis itu tersenyum sendu. “lo begini juga salah gue. Jadi gue harus tanggung jawab. Maaf ya, udah buat lo cidera” cicit Adele malu.
Lawan bicaranya, Nata, tertawa menanggapi ucapan Adele. “aku baik-baik aja kok. Mungkin memang saatnya aku harus berhenti sekarang, biar bisa fit lagi buat menaklukan gunung lain” Nata menjawab dengan ceria.
Akhirnya, kedua gadis itu terkekeh melihat tingkah mereka.
^^^
Nata dan Adele baru saja memasuki pos empat. Biasanya, para pendaki akan memilih untuk ngecamp di pos tiga dari pada pos empat, lantaran kawasan pos empat yang suhunya turun di bandingkan pos tiga. Belum lagi pos empat, vegetasinya terlalu terbuka, sehingga angin akan lebih kerasa. Nata tidak bisa membayangkan akan bermalam di tempat terbuka seperti ini. Ia yakin, lututnya yang cidera akan merasa ngilu karna suhu udara yang dingin.
Maka dari itu, Nata mengusulkan kepada Adele agar mereka turun saja ke pos tiga, dan memilih ngecamp di pos tiga. Disana juga mereka akan memiliki banyak teman, dan air akan terjamin, karna dekat dengan pos mata air.
Namun sialnya, selama perjalanan kedua gadis itu menuju pos tiga, Nata bisa melihat dari atas, bahwa orang-orang suruhan papanya, bisa menyium keberadaanya. Ini yang Nata takutkan, namun sayang, ia tidak memikirkan hal ini saat mengusulkan opsinya tadi.
Nata mungkin bisa saja lari menuju jalur lain, namun ia tidak bisa meninggalkan Adele sendiri. Adele adalah tanggung jawabnya. Dan ia juga tidak bisa mengajak Adele untuk ikut lari dengannya, karna mau tidak mau, ia juga harus menjelaskan alasannya, mengapa mereka harus lari.
Ya Tuhan, Nata ingin menangis saat ini. Bahkan tubuhnya sudah bergetar kaku, dan tidak bisa berjalan, lantaran ketakutan.
Orang suruhan papanya terlalu banyak, dan Nata yakin, mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain lari atau pasrah.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
The Power of Girl (TERSEDIA DI PLAYBOOK)
Teen Fiction[Tersedia ebook full di playbook] Nata, si gadis ayu yang cantik, harus memperjuangkan dirinya sendiri setelah pasca kematian maminya yang secara tragis. Wajah cantik dan sifat lemah lembutnya ternyata mampu menarik perhatian orang-orang sekeliling...