Elang memutuskan mereka untuk beristirahat di hotel, karena tidak ingin membuat warga resah, dikarenakan Elang yang menginap di rumah lama Nata.
Elang juga tidak berniat untuk meninggalkan gadis itu sendirian. Ia tidak tahu, apakah Nata memang benar-benar memahami ucapannya agar tidak bertindak sendiri atau tidak.
Dan untuk temannya yang lain seperti Angga, akan menyusul mereka keesokan harinya, setelah memastikan teman-temannya mendapat akomodasi transportasi untuk pulang ke Jakarta.
Elang sibuk sedari tadi dengan ponselnya, memerintahkan beberapa orang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan Nata, gadis itu terlihat melamun, memikirkan semua akibat-akibat dari tindakannya yang ia ambil.
Jika menyangkut materi, papanya bukanlah apa-apa di bandingkan dengan Elang yang bisa memiliki segalanya. Sultan, begitulah orang-orang menyebutnya.
"Jangan mikir aneh-aneh!!" Peringat Elang saat mendapati Nata melamun.
Gadis itu menggeleng, menolak untuk jujur.
"Gue udah dapat kartu AS bokap lo. Kita hanya perlu bertemu sekali dengan dia, dan lo bebas" ucap Elang penuh janji, untuk menenangkan gadis itu.
"Aku harap begitu" jelas Nata.
"Memang seperti itu. Kenapa lo gak ngomong kalau papa lo anggota dewan sekarang?" Tanya Elang.
Mengedikkan bahunya, Nata berusaha merilekskan tubuhnya. "Semenjak aku sama mami keluar dari rumah, mami selalu berusaha untuk tidak bahas masalah papa. Aku enggak tau apa penyebab penyakit lama papa muncul lagi, tapi yang aku tahu, semenjak kami pergi, papa enggak mau lagi konsumsi obat-obatnya" jelas Nata pelan.
"Papa lo sakit?" Tanya Elang bingung.
Gadis itu mengangguk, sebelum berucap, "papa penderita bipolar dari kecil. Bawaan dari gen" gadis itu kembali mengedikkan bahu. "Dulu papa baik-baik aja, sampai aku memasuki masa puber. Kesimpulan yang aku dapat, tampaknya papa depresi melihat perubahan di aku. Papa selalu merasa, aku terlalu sempurna, dan suatu saat, itu bisa ngecelakain aku sendiri. Jadi papa berniat mau merusak wajah aku sedikit, agar papa tenang. Tapi mami merasa penyakit papa kambuh. Dan itu berati bahaya untuk kami berdua. Jadi mami bawa aku kabur dari sana" Nata tersenyum lirih dan tatapan matanya tampak berkaca-kaca.
"Dia jelas gila" tukas Elang tanpa basa-basi. "Dia mencelakai beberapa orang kehilangan nyawa, dan melakukan pembunuhan berencana. Dia terobsesi sama lo Nat, dan obsesi dia itu buat dia gila" tekan Elang dingin.
Gadis itu syok. Matanya membelalak terkejut. Melakukan pembunuhan berencana? Mencelakai beberapa orang?
"Itu enggak mungkin" cicit gadis itu.
Elang menghela nafas berat. Nata terlalu baik, hingga tidak pernah memikirkan hal yang paling terkejam yang bisa di lakukan oleh orang lain.
"Tapi itulah kenyataannya Nat. Mama Adele sekarang di kurung di rumah papa lo, sampai mamanya gila. Dan sampai saat ini, lo bahkan di kejar-kejar papa lo. Satu hal yang harus lo tau, jauh sebelum mami kamu meninggal, ada rumor bahwa Mami kamu saat itu sedang dekat dengan seorang dosen. Papa lo merasa semakin enggak bisa menjangkau mami lo. Dan akhirnya, papa lo mencelakai mami lo. Papa lo jelas terobesi dengan semua keluarganya. Menjangkau mereka agar tidak jauh dari papa lo. Wajah lo yang rusak akan buat semua orang menjauh dari lo" jelas Elang langsung.
Nata tertegun. Matanya berkedip beberapa kali untuk menghalau air mata agar tidak turun. "Mami?" Lirih gadis itu dan setetes air mata jatuh ke pipinya.
Nata tampak syok, hingga tidak mempercayai fakta yang di berikan oleh Elang.
Gadis itu tidak banyak bergerak. Matanya yang bewarna coklat gelap jika dalam keadaan normal, kini tampak sangat hitam di wajah pucatnya. Ia memandang dengan nanar.
Bibirnya bergetar, tapi bagian tubuhnya tidak—seakan sedang terperangkap dalam kehingan yang tampak membekukannya, yang nyaris tidak memberinya cukup ruang untuk bernafas.
"Itu enggak mungkinkan?" Tanya Nata meragu, lalu kembali gemetaran saat ia mengingat fakta bahwa papanya adalah orang yang paling mampu mencelakainya.
"Nat, ini kenapa gue bilang lo perlu gue. Lo enggak mampu melawan papa lo sendiriab. Kalau dulu pihak polisi enggak mau berurusan sama dia, sekarang mereka enggak bisa seperti itu, karna ada gue. Gue jujur kalau gue memang terobsesi sama lo, tapi ngecelakai salah satu tubuh lo bahkan enggak pernah terpikirkan di otak gue. Jadi jelaskan dimana perbedaanya" ucap Elang tegas.
Namun semakin tegas Elang, maka semakin gemetaran Nata. Gadis itu tampak ketakutan, menatapnya ngeri dan segala penolakan seperti tercermin di wajahnya.
Mendesah berat, akhirnya Elang berjalan mendekat ke arah gadis itu. Nata yang duduk tepat di atas sofa dan Elang yang berdiri. Laki-laki itu membawa Nata ke dalam pelukannya, dan membiarkan Nata bersandar di perutnya.
Jika di tanya, siapa orang yang paling tidak tega jika Nata menangis, maka Elang akan maju tanpa berpikir walau itu melukai egonya. Tapi saat ini Nata harus di tegaskan seperti apa wujud asli papa gadis itu.
"Gue enggak suka lo nangis begini. Jadi, ini harus jadi kali terakhir lo nangis di depan gue" ucap Elang dingin, tapi tangannya masih setia mengelus punggung Nata.
^^^
Tangan Nata dingin dan berkeringat, namun Elang masih tampak baik-baik saja di sampingnya.
Mereka baru saja di perbolehkan masuk ke dalam, setelah melewati pemeriksaan yang ketat. Bagi Nata, itu terlihat seperti sedang mengitimidasinya, namun Elang sedari membisikan bahwa, semuanya akan baik-baik saja.
Teman- teman mereka yang lain akan menyusul datang ke sini, dan membiarkan Elang bersama Nata untuk menyelesaikan bagian pertama.
Nata tidak tau apa sebenarnya yang sedang di rencakan oleh Elang. Dan itu jelas membuat ia frustasi.
Di pintu utama, mereka sudah di sambut oleh seorang pelayan yang bernama Imbun. Nata bisa memprediksi bahwa Imbun ini masih berumur dua puluh tahunan, dan Nata cukup bersyukur, Imbun tampak ramah.
Saat mereka memasuki rumah, Nata tidak sengaja melirik ke arah sayap kanan rumah, tepatnya ke sebuah ruangan yang memiliki jendela besar. Seorang perempuan paruh baya yang tampak sangat tua sedang duduk di atas kursi roda sambil melihat ke arah jendela besar itu.
Mamanya Adele.
Hanya itu yang terlintas di kepala Nata perihal wanita itu.
Tapi bukankah mama Adele sedang di rawat di rumah sakit jiwa?
Nata mendesah, hidup papanya tampak rumit.
Dan sebuah geraman mengalihkan tatapan Nata dari wanita itu.
Papanya, masih tampak gagah, yang saat ini sedang berdiri tepat di ujung tangga sambil memandang ke arahnya.
Ada tatapan tidak suka dari wajah papanya saat melirik tangannya yang di gandeng oleh Elang.
"Selamat siang pak Hermawan" sapa Elang tenang.
"Siapa kau? Apa yang sedang kau lakukan bersama putriku?" Tanya Hermawan Dingin.
Elang tersenyum manis. Dengan sengaja ia mendekatkan tangan Nata ke bibirnya, lalu mencium tangan gadis itu dengan sensual.
"Perkenalkan pak, saya Elang. Kedatangan saya kesini bermaksud melamar Nata di depan bapak. Saya harap, bapak mau berkerja sama. Tolong persilahkan kami duduk!" Ucap Elang tenang. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa takut atau gentar melihar wajah papanya Nata. Sedangkan gadis itu, kembali pucat di tempatnya. Pucat karena mendengar ucapan Elang atau pucat karena kembali melihat papanya, tidak ada yang tahu pasti.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
The Power of Girl (TERSEDIA DI PLAYBOOK)
Teen Fiction[Tersedia ebook full di playbook] Nata, si gadis ayu yang cantik, harus memperjuangkan dirinya sendiri setelah pasca kematian maminya yang secara tragis. Wajah cantik dan sifat lemah lembutnya ternyata mampu menarik perhatian orang-orang sekeliling...