09.

151 20 3
                                    

Arjuna P.O.V

Vale mulai menerima peristiwa malam itu.

Wanita itu begitu kuat, sekarang ia banyak mencari distraksi untuk mengalihkan pikirannya.

Ia berlari kecil ke belakang tetangga kecilnya, Vale sedari tadi sedang asyik sendiri dengan sebuah pekerjaan di tangannya. Ia menepuk Pundak Vale kencang-kencang, "Hayoo lagi ngapain?" serunya yang spontan membuat sang wanita memekik karena kedatangan tak diundangnya.

Vale langsung berbalik. Tatapannya siap membunuh Juna, "Mas ngapain sih? Ngagetin Vale tahu!" Ia memukul Juna.

Tentu saja, pukulan itu tidak berarti bagi Juna. "Kamu nyulam?" sebuah kain dengan pola separuh jadi duduk di atas meja teras.

Juna tahu bunda Vale memang suka menyulam, tetapi setahu Juna; Vale tidak pernah menikmati hobi bundanya itu. Saat masih kecil, ia suka menggerutu ketika diajari menyulam. Padahal, tas, topi, hingga seragam Vale dulu selalu dihiasi bordiran cantik namanya yang merupakan hasil tangan bundanya sendiri.

Vale dengan kasar merampas potongan kain di tangan Juna, "Iya, kenapa?" nada bicaranya ketus, tapi; seluruh wajah hingga ujung telinga lancipnya memerah. Ya, inilah sebabnya, Juna senang menggoda Vale.

"Baru tahu Mas, kamu suka nyulam juga."

Juna meletakkan dan membuka sebuah bungkusan yang ia bawa. Pukis. Ada pedagang pukis baru di samping tempat ia biasa membeli martabak dan haram hukumnya bagi Arjuna untuk tidak merasa penasaran dan ingin mencoba.

Mereka mencomot pukis-pukis itu. Keju untuk Juna dan cokelat untuk Vale. Juna membantu membersihkan noda cokelat yang belepotan di sekitar mulut Vale. Untuk harga tiga ribuan per buah, isi pukis itu sudah cukup banyak, catat Juna.

"Vale baru nyoba nyulam lagi semalem. Tapi, memang bukan bidang Vale deh kayaknya. Bordiran Vale kasar, bosen juga." Ia meraih pukis keduanya.

"Ya minta tolong tante dong." Juna tidak mau kalah. "Dari dulu kan tante seneng tuh kalau nyulam ditemenin kamu."

"Udah kok. Tadi malem, Vale nyulamnya bareng sama bunda. Kita juga ngobrol banyak."

"Oh?" Juna menghentikan makannya, memilih memandangi wanita di sebelahnya dengan wajah keheranannya.

Ini...adalah sebuah informasi baru. Bagaimana tidak? Tetangga kecilnya dan orang tuanya itu sudah seperti terlibat dalam semacam perang dingin semenjak Vale memutuskan untuk membangkang.

Namun, melihat senyum lebar yang menghiasi wajah Vale saat mengunyah pukisnya, Juna pun jadi ikut bisa bernapas lega untuk wanita itu. Ia menebak, selain perkembangannya, ada juga sebuah beban lain yang baru saja terangkat dari pundak Vale.

Ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih dalam lagi dan hanya diam-diam berdoa agar senyum di wajah manis itu dapat bertahan selamanya.


***


"Mas?" Vale muncul di rumah Juna suatu Minggu pagi dengan sebuah piring di tanganya.

Juna yang baru bangun — masih dengan wajah kusut dan mata setengah terpejamnya — hanya membuka pintu lebih lebar sebelum meninggalkan Vale begitu saja, lupa mempersilakan sang tamu masuk. Ia malah berputar dan langsung ambruk di sofa ruang tengah begitu saja.

Ibu Juna lah yang kemudian mempersilakan Vale masuk. Tanpa memedulikan Juna yang semalaman bergadang menyelesaikan pekerjaannya, tanpa ragu membangunkan putranya dengan brutal. Juna langsung segar saat itu juga.

"Itu loh ada Vale. Kamu tuh, anak orang datang bukannya disuruh masuk malah ditinggal tidur!" omel ibunya.

Juna hanya bisa memerengut, "Ya, maap Bu. Ini anak Ibu tadi belum kekumpul semua nyawanya pas buka pintu," ia menoleh ke arah Vale, "Eh, itu kamu bawa apa Val?"

"Ini..." Vale melirik ragu ke arah ibu Juna yang sudah kembali ke dapur. Ya, kalau bunda Vale hobi menyulam, ibu Juna adalah penguasa dapur. Ia pandai membuat berbagai masakan dan kue-kuean yang mungkin juga menjadi asal-muasal Juna menyukai jajanan.

"Vale coba bikin martabak tadi."

"Oh?" Mata Juna seketika berbinar. Ia bahkan tidak menunggu izin dari tetangga kecilnya untuk menyambar martabak di depannya.

"Vale banyak nemu resepnya di Instagram," pandangannya tidak ada pada Juna. "Rasanya gimana Mas? Enak enggak?" sergapnya tiba-tiba, nada suaranya sedikit terlalu bersemangat sampai ia terkejut sendiri. Memekikkan sebuah 'oops' kecil dan menutup mulutnya. Namun, sedetik kemudian berusaha mengintip dari balik surai cokelatnya dengan mata besar yang penuh harapan.

Benar-benar seperti anak anjing, sangat menggemaskan. Apalagi, akhir-akhir ini Vale jadi menempel dan manja dengannya.

Ia tidak hanya menjadi semakin periang, tetapi juga terlihat lebih 'bebas'. Bahkan Juna pun ikut mendapat imbasnya, ia kini tidur sambil senyum-senyum. Dari semula yang hanya minta diantar-jemput kalau harus pulang malam, kini mereka berangkat dan pulang kerja bersama.

Begitu juga ketika mereka beberapa kali menyambangi tempat-tempat ramai – salahkan Juna yang tidak bisa menahan diri tiap bertemu pedagang jajanan di pinggir jalanan – Vale yang awalnya ragu untuk meminta Juna memegang tangannya karena tidak tenang berada di tengah-tengah keramaian, kini sudah jatuh ke sebuah rutin dimana Juna akan secara spontan menggandeng tangannya di keramaian. Dan Vale, tampak sangat nyaman dengan rutinitas baru mereka tersebut.

Membuat secercah harapan di hati Juna tumbuh dengan suburnya.

"Enak kok." Ia tersenyum, hendak mengusap pelan rambut pendek itu – Sebuah niat yang seketika ia urungkan begitu melihat tatapan tajam dari sang wanita.

"Tangan Mas kotor ya."

"Ya kan lagi makan martabak Val."

"Ya makanya enggak usah mikir mau pegang-pengang. Jorok tahu!"

"Iya deh iya. Galak banget sih pagi-pagi," Cibir Juna. Tangannya meraih potongan kedua.

Vale mendekat. "Bener enak kan Mas?"

Ingin rasanya Juna menyentil dahi Vale, mendengar pertanyaan itu lagi. Beruntung, Juna bisa menahan diri mengingat tatapan sadis dari sang tetangga kecil itu. "Kalau enggak enak, ya Mas enggak ambil potongan kedua Val," jelasnya.

Dan wajah Vale seketika berkali lipat lebih berseri begitu kata-kata itu keluar dari mulut Juna. Senyum yang merebak di wajahnya begitu manis; sungguh, Vale sangat senang mempersulitnya!

Juna belum pernah sebenci ini dengan fakta martabak adalah makanan berminyak. Kendati pun demikian, Juna tetap saja buru-buru mengulurkan tangan panjangnya kemudian untuk potongan ketiga sebelum Vale membawa pergi martabaknya untuk ditawarkan pada ibu Juna.


Ia benar-benar sudah kembali.


"Hari ini kosong enggak Val?"

"Kosong. Mas mau ngajak pergi?"

"Yuk, ke toko buku."


Ia ingin mengenalkan dunianya pada Vale.


***

Home (JunHao GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang