Valerine P.O.V
Valerine benci pada ayah-bundanya. Ia benci mereka yang selalu berusaha mengatur kehidupannya. Tapi, saat ini ia lebih membenci Arjuna.
Ia baru saja selesai mandi ketika ia mendengar deru motor Arjuna memasuki pelataran rumahnya. Deru motor itu bersaingan dengan suara hujan dan petir, yang sontak mendorong Valerine untuk segera berlari ke teras rumahnya untuk melihat kondisi Juna.
Tapi, pemandangan yang dilihatnya justru mendidihkan emosinya. Di sana juga ada Wilo. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan Arjuna yang masih bisa tersenyum lebar dan melambaikan tangan ketika melihatnya.
Vale langsung menghentakkan kakinya begitu saja ke rumah Arjuna. Tidak peduli dengan hujan angin yang sedang mengamuk atau dirinya yang baru selesai mandi dan kini kembali di guyur hujan.
Juna tersentak, "Loh, Vale!" Ia segera berlari, mengulurkan jaketnya untuk sang tetangga.
Namun, Vale menebasnya.
Ia memukul dada bidang Juna. "Mas bilang cuman teman! Terus itu apa?! Kenapa Wilo sampek dibawa ke rumah?" Vale berteriak.
Juna tidak pernah membawa perempuan mana pun ke rumah sebelumnya. Vale adalah satu-satunya teman perempuan Juna yang dikenal ibunya.
"Jangan teriak-teriak Dek. Nanti tetangga pada keluar." Juna berusaha menahan pukulan Vale. Ia tidak paham kenapa Vale harus menjadikan ini sebuah perkara besar. Langit tiba-tiba memutuskan untuk menumpahkan air matanya malam ini. Tentu saja sebagai pengendara motor, Juna tidak memiliki pilihan lain selain mencari tempat berteduh dan rumahnya adalah pilihan terdekat. Maka, terang saja Juna langsung memacu motornya ke sini.
Reaksi Valerine terlalu besar.
"Kamu sedang cemburu Val?" tanyanya ragu, membuat Valerine yang berada dalam rengkuhannya seketika membatu. Hati Juna yang sudah lama ia lumpuhkan kembali berdenyut dalam dadanya.
Valerine yang ditatap lekat oleh Juna seketika lemah. Lututnya lemas. Beruntung, Juna menangkapnya sebelum jatuh. Kemudian, membawanya meneduh ke bawah atap rumahnya sendiri. Valerine tidak terlalu memperhatikan, tetapi sepertinya ia sempat mendengar Juna berteriak menitipkan Wilo pada ibunya yang sempat keluar karena keributan mereka di sela-sela usahanya menarik dirinya pulang.
Ia kelepasan.
Valerine tidak seharusnya bertindak demikian. Ia dibutakan sesaat oleh ketakutan akan hilangnya posisinya dalam kehidupan Arjuna. Ia kalap.
"Val, kamu cemburu?"
Vale mengangkat kepalanya. Juna sudah duduk disampingnya, mengeringkan tangannya dengan handuk meskipun bibirnya sendiri yang sudah berubah kebiruan. Rasanya, Vale ingin menangis.
Kenapa pria di sampingnya ini harus menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang orang tuanya dorong padanya?
"Enggak, ngapain Vale harus cemburu?" ketusnya. Ia membuang wajahnya ke samping, sakit melihat senyum pahit di wajah Arjuna.
Tapi, Arjuna hanya bangkit berdiri setelah itu. Mengusap lembut pucuk kepalanya dan berkata, "Wilo enggak Mas ajak pulang untuk dikenalkan pada ayah-ibu kok. Wilo Mas ajak pulang karena butuh tempat berteduh dari hujan. Vale tetep nomor satu Mas."
"Sanah, kamu mandi dulu. Mas juga mau pulang mandi." Juna keluar dari kamar Vale setelah itu. Pundak lebarnya terlihat sangat berat, seolah ia sedang memikul dunia di bahunya. Dan Vale, adalah pelakunya yang menaruh beban itu di pundak tetangga terbaiknya.
Ia menangis. Hatinya justru hidup untuk Arjuna.
Dan, Valerine tidak mau itu.
***
Hari berganti dengan cepat. Demikian juga Valerine.
Dirinya adalah miliknya, ia dapat berubah dengan cepat jika itu yang dirinya inginkan. Ia mengabaikan Arjuna.
Sebagai gantinya, ia semakin banyak menghabiskan waktu dengan Elang. Diantar dan dijemput, berkencan di akhir pekan, mencari makan bersama sepulang kerja. Valerine menjadikan Elang pusat dunianya dalam waktu satu malam.
Senyum pahit yang selalu ia lihat di wajah Arjuna kala mereka berpapasan di pagi hari, ia dorong jauh-jauh agar tidak memenuhi kepalanya sesiangan.
Vale pikir ia sangat ahli. Orang tuanya kini sudah berhenti berkomentar tentang Elang. Mungkin lelah, putri kecil mereka sudah tidak dapat lagi di atur.
Vale pikir ia ahli. Hingga kata-kata itu keluar dari mulut Elang;
"Valerine, ayo kita putus."
Bak disambar petir di hari cerah, Vale tidak menyangka Elang akan mengeluarkan kata-kata itu. Terutama, tidak kala mereka sedang menikmati makan malam di tengah kerlap-kerlip indahnya lampu ibu kota dan cahaya rembulan. Lilin-lilin di sekitar mereka pasti dinyalakan bukan untuk menemaninya meratapi kegagalan berulangnya dalam membangun sebuah hubungan.
"Apa yang kau bicarakan Lang?" tanya Vale tidak percaya. Ia benar-benar sudah berusaha maksimal dalam hubungannya kali ini. Ia menaruh seluruh hati dan perhatiannya pada Elang.
Namun, Elang hanya menatapnya dengan senyum penuh arti sebelum melempar pandangannya pada keramaian ibu kota yang terhampar jauh dibawah mereka. "Aku tidak mau kita sama-sama tersakiti lebih jauh Val. Aku tidak sebodoh itu. Tubuhmu memang ada bersamaku, tapi hatimu tidak pernah ada bersamaku. Aku sudah lelah mengejar hatimu yang tak kunjung mau berpaling. Aku yakin, kamu juga lelah merasa bersalah padaku." Senyumnya pahit. Di manik mata yang biasanya penuh keyakinan itu, terlihat jelas ada kesedihan disana.
Vale telah menjadi suatu kesakitan baginya.
"Tidak Lang. Aku sedang berusaha. Tolong, tolong beri aku satu kesempatan lagi saja. Aku janji, aku akan membalas perasaanmu kali ini."
"Tidak Val. Keputusanku sudah bulat. Aku melakukan ini untuk kita berdua. Hatiku juga sakit melihat perempuan yang begitu aku sayangi berusaha mati-matian mengingkari hatinya sendiri. Bukan cinta seperti itu yang aku inginkan Val. Aku tidak jatuh cinta pada Valerine yang kehilangan hatinya."
Runtuh. Mungkin, itulah kata yang paling tepat untuk mengekspresikan diri Valerine saat ini. Elang adalah bagian terbaik dalam hidupnya saat ini. Satu-satunya pegangan Valerine dalam ombang-ombing ketidakjelasan hatinya. Dan kini, ia juga akan pergi...
Valerine rasanya jahat sekali jika menahannya.
"Kita bisa tetap menjadi teman walau mungkin tidak dalam waktu dekat ini. Mari kita sama-sama menyembuhkan diri terlebih dahulu sebelum bersahabat. Bagaimana pun juga, kamu akan tetap menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidupku. Aku tidak marah atau pun dengki pada mu Val. Kamu juga sudah berusaha yang terbaik, hanya saja perkara hati tetap tidak dapat kita kendalikan. Itu sebabnya, aku membawamu kesini supaya kita bisa mengakhiri kisah kita baik-baik. Tenanglah, aku akan tetap mengantarmu pulang nanti."
Lihat? Betapa baiknya Elang. Vale tidak mungkin menahan orang sebaik ini dari mengejar kebahagiaannya.
Air matanya mulai jatuh mengingat kembali awal kisah mereka. Elang memang berbeda dari kekasih-kekasihnya yang sebelumnya. Itulah sebabnya, Valerine menaruh harapan paling tingginya pada diri Elang. Tetapi, hatinya tetap kekeh pada pendiriannya sendiri.
Elang menghapus air mata Valerine.
Untuk terakhir kalinya, Vale membiarkan dirinya menikmati kehangatan yang Elang berikan. "Ya, mari kita tutup cerita kita ini dengan indah. Maaf dan terima kasih. Kamu pria yang baik Lang, aku akan mendoakan kebahagiaanmu. Tentang diriku. Lupakan saja aku Lang, aku bukan wanita baik-baik. Kamu juga tidak perlu mengantarku pulang.
Aku tidak ingin pulang."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Home (JunHao GS)
Storie d'amore"Enggak papa Valerine pergi-pergi, yang penting Vale tetap ingat. Vale punya rumah, yaitu Juna - rumah Vale. Juna akan selalu menunggu Vale disini." "Karena siapa pun yang sudah berusaha pasti akan merindukan sebuah rumah untuk pulang berteduh" Seb...