EPILOG

322 24 16
                                    

Arjuna P.O.V

"Astaga Tuhan, RASSYA!!" Suara menggelegar Vale dari dalam rumah menjadi suara pertama yang menyambut Arjuna begitu ia turun dari mobil. Penyambutan demikian memang sudah menjadi penyambutan yang tidak asing lagi bagi Juna.

Kekehannya semakin menjadi-jadi ketika detik berikutnya, pintu rumahnya terbuka lebar, menunjukkan seorang anak kecil yang sedang memberengut kesal. Laki-laki kecil itu tidak membutuhkan kata-kata untuk segera menghambur ke dalam tangan terbuka Arjuna. Menenggelamkan wajah kecilnya secara manja ke ceruk leher Arjuna selagi tubuh kecilnya diangkat oleh Juna.

"Kenapa jagoan Ayah?" tanyanya sembari berusaha membujuk anak tersebut untuk keluar, menunjukkan wajahnya pada Juna.

Namun, belum anaknya menarik diri, tampang istrinya yang tidak kalah jengkel sudah terlebih dulu menyambutnya. Vale berdiri menghalangi pintu dengan putri bungsu mereka dalam gendongannya. Ia berkacak sebelah pinggang dengan satu tangannya.

Benar-benar suatu pemandangan yang normal dalam rumah tangga Arjuna — putra sulungnya, yang entah kenapa, sangat senang mencari gara-gara dengan istrinya dan istrinya yang kesal setengah mati dibuatnya.

Padahal, bila Juna boleh jujur, putra sulungnya itu benar-benar adalah fotokopi dari Valerine. Sampai ada waktunya, Juna kadang suka ragu sendiri jika ia benar ikut berpartisipasi dalam pembuatan putranya itu, saking benar-benar tidak ada satu pun sifat atau bentukan Arjuna yang menurun pada anaknya.

Untungnya, beda anak beda cerita, putri bungsu mereka adalah 100% jiplakan kertas karbon Arjuna. Justru dalam kasusnya, giliran Vale yang mengomel. Merasa dicurangi karena Rayssa, putri mereka, seperti hanya mengontrak di perutnya saja saking tidak ada satu pun bagian dari dirinya yang menurun pada sang putri. Juna sampai cuman bisa tertawa tiap Vale menggerutui itu.

"Kenapa lagi Sayang, hm?" Juna menyelipkan rambut istrinya yang berantakan. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana wanita di hadapannya itu tetap bisa menjadi semenggemaskan itu, memberengut kesal, meski telah menjadi ibu dari dua anaknya.

Ia mecebik, "Tanya aja tuh sama anak kamu!" serunya.

Rassya, dalam gendongannya, tampaknya tidak mau kalah, ia langsung menarik diri untuk membalas mamanya. "Mama yang salah! Marah-marahin Rassya padahal Rassya enggak ngapa-ngapain!" sergahnya.

"Kamu hampir ndorong adik kamu jatuh Rassya! Untung Mama lihat, kalau enggak gimana jadinya Rayssa sekarang coba?!"

"Ya orang Rayssa salah! Rayssa ngambil krayon Rassya yang Ayah beliin enggak pakai izin!"

"Ya tapi enggak gitu caranya Rassya! Ah, enggak tahu ah Mas! Anak kamu, kamu yang ajarin!" Vale akhirnya menyerah. Tetapi, ia masih tetap berdiri di tempatnya meski mendengus kesal. Menunggu Juna yang menyelesaikan permasalahan di antara mereka.

Juna yang paham, langsung menoleh, menatap putra semata wayangnya. Ia bertanya dengan lembut, "Rassya, bener kata Mama udah dorong Rayssa?"

Sang putra, untuk sekelabat, menunjukkan wajah terkejut akan pertanyaan ayahnya, sebelum akhirnya mengangguk pelan. Perasaan bersalah mulai tertoreh di wajahnya. "Tapi Rassya punya alasan Yah! Rayssa pakai barang Rassya tanpa izin!" serunya. Namun, kemudian, suaranya mengecil. bibir bawahnya maju. "Krayon itu kado dari Ayah..." cicitnya takut-takut.

"Terus, Rayssa bukan kado dari Ayah juga?" Mulai Juna. "Rassya lupa Ayah pernah bilang kalau Rassya dan Rayssa adalah kado terindah dari Tuhan buat Ayah dan Mama?"

Putranya lekas menggeleng.

"Nah, kalau enggak lupa, Rassya enggak boleh nyakitin Rayssa dong. Rassya aja sedih kalau krayonnya di ambil Rayssa kan? Apalagi Ayah sama Mama coba kalau Rayssa jatuh gara-gara Rassya. Rassya enggak mau kan Ayah sama Mama sedih?"

Home (JunHao GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang