14.

187 18 11
                                    

Valerine P.O.V

"Vale." Juna menahan tangannya. Matanya menyelisik tajam mata Valerine.

Bayu langsung pergi begitu sajasetelah menyatakan perasaannya. MenyebabkanVale tidak punya alasan lain, selain akhirnya menghadapi Arjuna yang sudah menunggunya dari tadi.

Ia tahu Juna sudah mendengar semua pembicaraannya dengan Bayu.

Maka, dengan wajah datar dan suara terdinginnya, Vale akhirnya menghadap Juna untuk pertama kalinya semenjak hari Sabtu kemarin, "Ngapain Mas ke sini?"

"Jemput kamu," jawab Juna tak kalah dingin, membuat Vale terkejut. "Ayo pulang." Ia menarik tetangga kecilnya.

Tetapi, Vale terlebih dahulu menangkis tangannya. Ia membentak, "Apa-apaan sih Mas? Vale bawa motor Vale sendiri!"

Namun, Juna tetap bersikeras untuk mencengkeram pergelangan tangannya. Genggamannya semakin erat.

Vale membentak lagi, "Mas!" Beberapa rekannya mulai berbisik di sekitar mereka, menertawai dan malah tampak senang melihatnya ditahan-tahan seorang lelaki alih-alih datang membantunya. Vale selalu tahu mereka memang tidak bisa ditaruhi banyak harapan.

Ia terus memberontak. Kini, mulai mencoba melepas satu per satu jemari panjang Arjuna yang menekan pergelangan tangannya. Ia mulai merintih, "Lepasin ah Mas! Apaan sih? Enggak jelas tahu enggak!" Jari-jari Juna mulai meninggalkan bekas merah di kulit putihnya. Sakit.

Vale langsung berbalik begitu ia berhasil. Kesal. Namun, tidak sampai lima detik ia berbalik, sebuah beban berat menghempas tubuhnya. Sepasang lengan yang panjang menarik tubuhnya, punggung sempitnya menubruk langsung dada bidang Juna.

Ia memekik.

Juna sedang mendekapnya dengan sangat erat, Vale bahkan mulai merasa sesak. Hatinya bergemuruh dalam rongga dadanya.

Arjunanya, yang selama ini gagah tak tergoyahkan, tumbang. Ia kini sedang membenamkan wajahnya di ceruk leher Valerine. Begitu dekat hingga tiap-tiap bulu kuduknya berdiri tiap nafas Juna menerpa tengkuknya.

Pria itu merajuk, "Kenapa tadi enggak langsung ditolak?"

"A-ah?" Vale terperangah. Ia tidak pernah mengenal Arjuna yang seperti ini.

"Pinangannya. Pria tadi –" "Pak Bayu?"

"Argh, iya itu. Dia udah enggak cuman minta kamu jadi pacar Val. Dia udah minta nikah Val."

"Jadi?"

"Loh kok 'jadi'?" Juna seketika menarik dirinya dari punggung Vale. Ia memutar tubuh wanita itu. Kini, ia meremas kedua pundaknya. Mau tidak mau, memaksa seluruh atensi sang wanita untuk ada pada dirinya lagi, wajahnya serius.

"Vale," panggilnya. "Vale ingat enggak Mas dulu pernah bilang, 'Enggak papa Valerine pergi-pergi, yang penting Vale selalu ingat rumah'?"

Alis Vale langsung menukik sebelah. Tidak memahami arah pembicaraan Juna.

Juna melanjutkan, "Mas juga pernah bilang Mas itu rumah Vale, ingat?" Vale mengangguk. "Terus — terus kenAPA SEKARANG VALE LUPA?!" Juna tiba-tiba menghardiknya dengan keras, mengagetkan Vale, ia terlonjak. Sekujur tubuhnya berubah dingin.

Siapa ini Arjuna yang sedang berdiri di depannya?

Tetangga terbaiknya itu kemudian menarik tangannya seperti Bayu tadi. "Mas udah enggak bisa nunggu lagi Val!" Tegasnya, berapi-api. Tetapi, pada saat yang bersamaan, juga menunjukkan ekspresi kesakitan yang nampak jelas di matanya.

Ia kemudian membawa sebelah tangan Vale mengusap pelan pipinya. Panas.

Mata Juna terpejam. "Vale sudah cukup pergi-perginya, ya? Rumah terbaik untuk Vale sudah ada di sini — Mas. Mulai sekarang, Mas sudah enggak mau lagi hanya jadi Masnya Vale. Ma— enggak, Juna. Juna akan buktiin sama Vale, Juna adalah pria pilihan Vale. Sama kayak Vale adalah wanita pilihan Mas." Mata mereka bertautan.


"Yuk, Mas ikutin pulangnya dari belakang."


***


Juna benar-benar serius dengan kata-katanya. Ia berubah menjadi orang lain dalam waktu semalam. Ia kini mulai meletakkan batasan-batasan di antara mereka. Seperti contohnya, ia tidak lagi masuk ke kamar Valerine. Saat datang mengantar atau menjemput Valerine, ia juga merubah caranya meminta izin.

Sekarang, ia meminta izin layaknya seorang pria dewasa yang datang meminta izin pada orang tua kekasihnya untuk membawa pergi anak gadis mereka. Persis seperti apa yang selama ini Vale harapkan dari pacar-pacarnya terdahulu.

Juna juga mengurangi kontak fisik di antara mereka, yang anehnya, justru malah membuat Vale semakin kebingungan dengan dirinya sendiri.

Tetangga terbaiknya itu benar-benar berubah, Vale hampir tidak mengenalinya lagi.

Vale mengenggam erat sekotak cheese tart pemberian Bayu. Pria itu juga saat ini sedang tidak kalah gencar-gencarnya berusaha mendapatkan hatinya. Namun, berbeda dengan pendekatan Juna, Bayu tidak henti-hentinya membelikannya macam-macam.

Tidak hanya itu saja, bisa Vale katakan, manajernya itu juga kini berubah menjadi lebih ramah. Ia sering melintasi garis pandang Vale akhir-akhir ini meski hanya untuk sekadar tersenyum manis dan berlalu tanpa adanya pembicaraan lebih lanjut. Terkadang, ia juga menghadiahi mejanya dengan sticky notes lucu dan gambar emot  tersenyum. Tanpa Vale sadari, membuat jam kerjanya menjadi sedikit lebih berwarna.

Bayu itu pria yang manis.

"Kok tumben kamu beli cheese cake  Val?" Suara berat Arjuna membuyarkan seluruh lamunannya. Pria tinggi itu tiba-tiba saja sudah menjulang di depannya. Membuat Vale seketika merasa kecil.

Sejak pengakuannya tempo hari, Juna memang jadi memiliki aura yang berbeda. Tetapi, jeleknya, jika Bayu berubah manis, Juna justu berubah mengintimidasi.

Vale jadi suka salah tingkah. Bingung dan gelagapan di bawah sorot mata tajam Arjuna. "I-ini dari—"

"Bayu?" Dingin. Nada bicaranya dingin, Vale meringis.

Lalu tanpa aba-aba apa pun, sekotak cheese tart itu tahu-tahu sudah melayang di udara. Arjuna merampas kotak tersebut dari tangannya dan tanpa ampun, Vale dibiarkan menyaksikan kotak tersebut mendarat dengan tragisnya di dasar tempat sampah di samping tempatnya berdiri.

Rahang Juna pun mengeras dan sebelum Vale sempat melihat ekspresinya, Juna sudah terlebih dahulu berbalik, tidak memberinya kesempatan. Menarik tangannya dan langsung membawanya pergi tanpa ba-bi-bu menuju tempat di mana motornya terparkir.

Ia menyerahkan helmnya tanpa kata-kata dan Vale segera memakainya dengan patuh. Mendudukkan diri di belakang Juna dan dengan takut-takut, menyelusupkan tangannya ke celah lengan Arjuna. Kini, menyenderkan tubuhnya di punggung tegap itu bahkan menjadi begitu canggung, jantung Valerine rasanya bisa berpacu lebih cepat daripada motor Arjuna.

Suara bising lalu lintas ibu kota tenggelam, Juna menangkup sebelah tangannya di atas tangan Valerine di perutnya. Memastikan perempuan itu sudah aman di belakangnya. Kata-katanya final.

"Kita beli martabak saja. Cokelat."

Perjalanan dengan Juna tidak pernah terasa selama itu sebelumnya, Vale merindukan Juna yang lama.


***


:'))

Home (JunHao GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang