13.

196 21 18
                                    

Arjuna P.O.V

Lelah?

Ya, ada kalanya, seorang Arjuna juga bisa lelah.

Ia tidak pernah berpikir Vale kecilnya bisa mengeluarkan kata-kata yang demikian kejam. Tidak pada orang lain dan – terutama – tidak pada seseorang yang baru-baru ini menjadi salah satu sahabat terdekatnya.

Ia sudah berniat mengejar Valerine, menegur tetangga kecilnya itu karena salah tetaplah salah terlepas dari bagaimana pun hierarki hatinya.

Tetapi, Wilo menahannya, menarik lengannya. Wanita itu menggeleng, "Aku enggak papa kok Jun," ujarnya

"Tapi –" protes Juna terpotong, melihat Wilo yang terus menggeleng tidak setuju.

"Mungkin cara pendekatanku aja yang terlalu agresif. Dia juga kan baru kehilangan pacarnya kan? Wajar kalau sensitif, takut kehilangan kamu juga." Wanita itu tersenyum, sendu. Senyuman yang sama, yang sangat sering ia tarik.

Juna, jujur, tidak terlalu menyukai senyuman itu.

"Kamu sedang kesal, Vale juga sedang berantakan. Apa jadinya menurutmu kalau kalian saling berhadapan sekarang?" Ujar Wilo, menarik atensi Juna padanya lagi.

Untuk kesekian kalinya, wanita itu lagi-lagi benar. Juna hanya bisa membayangkan situasi terburuk jika tadi ia tidak ditahan oleh Wilo dan melancarkan serangannya menegur Vale.

Wanita itu juga pasti paham Juna sudah mulai meresapi pertanyaannya karena ia kemudian berjalan dengan santainya, kembali ke teras rumah Juna dan mulai membereskan segala barang-barangnya.

Juna dibiarkan hanya menonton dari balik punggung sempit wanita itu. Menyaksikan rambut legam Wilo yang jatuh tertiup lembutnya angin sore. Wanita cantik itu sama sekali belum bergeming maupun menunjukkan reaksi heboh apa pun, selain keheningan dan senyuman yang tak sampai ke matanya sepanjang keributan tadi. Membuat rasa penasaran dan hati Juna tergelitik. Ia memanggil wanita itu, "Wil."

"Ya?" Wanita itu berbalik. Kilau mentari senja mencium wajahnya pada segala sisi yang tepat. Juna tahu wanita itu cantik.

Tetapi, ada wanita lain yang sedang Juna jaga hatinya.

"Tentang kata-kata Vale barusan," Juna menggaruk tengkuknya, tiba-tiba hilang akal harus bagaimana merangkai kata-katanya, "Kamu... apa mungkin ada perasaan atau apa yang lebih yang terlibat dalam pertemanan kita?"

Terang saja membuat Wilo terkesiap. Tetapi, dengan cepat, ekspresinya kembali terkontrol. "Ada," jawabnya mantap.

Giliran Juna yang terkesiap. Tenggorakannya tercekam.

"Tapi, tenang aja Jun, aku tahu kok siapa pemilik hatimu. Aku enggak akan memaksakan perasaanku ke kamu. Aku pure hanya mau berteman sama kamu." Ia tidak menatap Juna mengucapkan kata-kata itu. Alih-alih, ia memandang jauh ke depan dengan ekspresi kesepian yang sama.

"Kenapa?"

"Apanya yang kenapa?" Wilo akhirnya memutar wajahnya menghadap Juna, keheranannya tidak disembunyikan.

"Kenapa tetap mau berteman denganku? Apa enggak sakit?"

"Sakit. Tapi, akan lebih sakit lagi kalau aku kehilangan kamu karena kamu cuman satu-satunya teman yang aku punya. Dan aku bener-bener sudah lelah sendirian."

Juna iba.

Namun, ia sadar diri – di sini, ia adalah pihak yang ditaruhi harapan. Ia tidak mau menjadi kesakitan lebih lanjut bagi wanita yang ia pedulikan kebahagiaannya. Ia memulai dengan lembut, "Wil, aku mau minta maaf dulu, aku enggak bisa membalas perasaanmu. Jadi –"

Home (JunHao GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang