12.

157 20 6
                                    

Valerine P.O.V

"Enak enggak Rin kuenya?"

Wilo bertanya dengan lembut, seketika membuat kue yang semula manis di lidah Vale, berubah menjadi hambar.

Ia benar-benar tidak mengerti kenapa Wilo bisa berada di sini; duduk di antara Juna dan ibunya, mengobrol dan tertawa bersama mereka, menikmati dan makan bersama mereka – kue buatannya.

Ia juga tidak mengerti kenapa Wilo tampak sangat pas berada di situ.

Ia memaksa kedua sudut bibirnya untuk mengangkat. Berharap senyumnya tidak terlalu tampak dipaksakan, "E-enak kok. Lembut."

Senyum cerah yang saat itu juga merekah di wajah Wilo memberitahunya, senyum Vale sukses mengecohnya.

Ia kembali menyibukkan diri memotong dan mengunyah bolu di piringnya. Sekali-kali menimpali pertanyaan Wilo tiap wanita itu menanyakan sesuatu.

Vale sungguh tidak mengerti apa maksud kedatangan Wilo hari ini. Apa maksudnya tiba-tiba datang ke rumah Juna? Membawa kue buatannya sendiri dan berbicara sok akrab dengan ibu Juna pula?

Apa Wilo sedemikian inginnya menampar Vale? Belum cukupkah tamparan yang ia terima hari Minggu kemarin di toko buku itu?

Vale benar-benar ingin menghilang saja rasanya. Apalagi, ketika Wilo menambahkan sepotong bolu cokelatnya saja ke piring Vale sesaat ketika piringnya hampir kosong.

Senyum lebar di wajahnya menunjukkan seolah ia melihat Vale sebagai seorang anak kecil, alih-alih wanita dewasa. Tulus dan penuh kasih, tetapi justru membuatnya semakin terpojokkan. Bahkan, tangan besar Juna yang biasanya selalu berhasil memberikan ketenangan pada Vale pun, kini, tidak memberikan efek apa pun kala tangan itu mengusap kepalanya.

Vale mati rasa, seolah ia tesedot jauh, dipaksa untuk menonton interaksi tiga orang di sekelilingnya dengan sebuah tembok pembatas menghalangi di antara mereka.


Valerine pasti benar-benar sudah gila sekarang!


"— Dek? Dek? VALE!"

"Eh, iya Mas?" Tuh kan, Vale sudah gila. Juna bahkan sampai khawatir dibuatnya. Tangan pria itu sudah menyentuh lembut samping wajahnya saat ia tersadar; tangan yang sebenarnya tidak terlalu lembut, tetapi sudah selalu menjadi favorit Vale.

"Kamu lagi mikirin apa sih dari tadi, hm?" Juna bertanya lembut, tersenyum tipis. Ia sudah berdiri.

Vale baru sadar mereka sudah selesai makan. Ibu Juna bahkan sudah tidak ada di teras. Semua piring sudah dibereskan dan menumpuk di nampan yang terletak di depan Juna.

Wilo juga sudah berdiri yang menyisakan hanya Vale seorang yang duduk. "Sudah Jun, aku aja yang bantu Tante," bujuk Wilo dengan kikuk di samping Arjuna.

Tetapi, Juna tetap pada pendiriannya. Ia mengusak rambut Valerine sebelum akhirnya mengangkat nampannya. Ia berujar, "Udah, kamu ngobrol aja sama Vale. Ibu biar aku yang bantu, masa tamu disuruh cuci piring? Waktu itu kan katanya kamu pengin ketemu Vale, Wil."

Juna kemudian berbalik badan dan masuk rumah, menyisakan hanya Wilo dan dirinya di teras rumah Juna.


Aneh.


***


Wilo dan Vale sama-sama tidak bisa menghalau atmosfer canggung yang mencekik mereka.

Dan, seperti biasanya, insting pertama Valerine, adalah: lari.

Ia, tanpa pikir dua kali, melarikan diri keluar dari rumah Arjuna, menuju rumahnya sendiri untuk bersembunyi di bawah perlindungan atapnya. Sontak, mengejutkan Wilo yang berdiri di depannya.

Wanita cantik itu langsung mengejarnya, menarik pergelangan tangan Valerine dan, dalam sekejap, menghentikannya. "Valerine! Kok lari?"

"Aku ada urusan!" Serunya asal. Nada bicaranya lebih kasar daripada dugaannya. Pikiran Vale kalut.

Genggaman di sekitar pergelangan tangannya saat itu juga merenggang begitu kata-katanya terucap. Wajah Wilo kecewa.

"O-oh gitu? Ya sudah. Apa boleh buat." Namun, dengan cepat, wajahnya berubah lagi. Ia kini tersenyum meski tidak setulus tadi. "Kamu hari senin nanti, pulang kerja sibuk ngga?" Tanyanya penuh kehati-hatian.

Ia meremas kecil tangan Vale. Mengindikasikan ia juga sama gugupnya dengan Vale. Mengacaukan seluruh otak Vale dengan satu tindakan kecil itu, yang keluar dari bibirnya justru, "Apa sebenarnya maumu Wil?"

Tajam dan penuh prasangka. Vale mungkin sudah terlalu lelah bersembunyi atau akhirnya tersadar; impresi apalagi yang harus dipertahankan ketika, pada dasarnya, ia memang tidak ada baik-baiknya?

Terbukti, Wilo tampak sangat tertohok dengan pertanyaan itu. Genggamannya pada tangan Vale pun saat itu juga terlepas. Ia tampak sangat tersakiti. "Aku cuman mau jadi dekat sama kamu Rin. Memangnya, terlihat seperti apa aku di matamu?"

Sebut saja Vale kejam, ia sudah muak.


"Kamu, terlihat seperti sedang merebut Juna dariku."

"VALE!"

.

.

.


Ia lari.


Lagi.


***

Home (JunHao GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang