8 | Ekspektasi dan Realita

493 70 1
                                    

Jun POV

Bagi gue, hewan bukanlah sekedar hewan. Apapun jenis hewan tersebut, mereka adalah teman yang paling setia dibandingkan teman manusia gue. Mereka pendengar yang baik dan juga penghibur di kala gue lelah. Apapun jenis hewannya, mereka selalu berhasil membuat kehidupan gue berwarna.

Walaupun sekarang gue ngerasa penghuni kosan udah kayak hewan, maksud gue menjadi pendengar dan penghibur karena kita semua udah dekat, tapi itu gak menghilangkan kecintaan gue kepada hewan.

Sore ini, gue syok mendengar kabar duka dari Wayu. Sebenarnya waktu pertama kali ketemu Ikan, gue udah punya firasat kalau dia gak bakal hidup lama. Tapi tetap aja gue kaget karena secepat ini.

Setelah melihat dan mendoakan Ikan di kuburannya, gue jadi ngerasa agak sedih. Gue sedih karena Ikan koid, dan gue sedih karena niat baik gue buat ngasih makan Ikan pupus.

"Bukan salah lo, Meng. Udah ajalnya."

Kalimat tersebut berulang kali Wayu ucapkan sambil merangkul gue. Harusnya gue yang merangkul dan bilang kalimat tersebut, bukan dia.

Karena merasa sayang akan makanan ikan yang tadi gue beli, gue pun berniat ke pasar buat beli ikan cupang. Gue udah ajak Wayu, tapi dia terlalu mager buat keluar. Mungkin karena sore ini panas kali ya.

Karena gue gak punya motor, gue pun jalan kaki. Untung aja gue punya kaki yang kuat, mental baja, dan tubuh yang sehat. Pasarnya gak terlalu jauh, sih, tapi kalau jalan kaki bisa menghabiskan waktu 10 menitan.

Di depan gang, gue jumpa Sandy, Hansol, dan Chan. Tiga serangkai ini baru kelar kuliah, jadwal kuliah tahun pertama emang padat dari pagi sampai sore, belum lagi tugas.

Sumpah ya, di sini gue kasian banget liat motornya Sandy. Motor mio keluaran lama yang bodynya kecil itu, dipake buat tarik tiga. Mana suara mesinnya udah jelek amat lagi.

"Mau kemana, Bang?" tanya Sandy.

"Ke pasar bentar."

"Turun lu pada!" perintah Sandy pada kedua orang di belakangnya. Setelah Hansol dan Chan turun, Sandy ngasih gue kode supaya naik ke motornya. "Buruan, Bang!"

"Sorry banget ya, Sol, Chan." ucap gue naik ke jok belakang motor Sandy.

"Gak apa, Bang."

"Udah deket, kok, Bang. Sans."

Setelah itu, Sandy langsung menggas motornya dengan kencang. Gue rada nyesal kenapa gak nawarin diri buat bawa tuh motor. Sandy si cerewet ini gak pernah santuy kalau bawa motor. Kadang gue heran, kok bisa ya Hansol sama Chan betah tarik tiga sama Sandy? Apa gak takut?

"Bang, lu ngapain ke pasar?"

"Hah?"

"NGAPAIN KE PASAR?

"Oooh beli ikan."

"Dimananya?"

"Hah?"

"DiMANANYA?"

"Apanya?"

"Hah?"

Apaan sih, gue gak denger.

Setelah memarkirkan motor, gue langsung berjalan ke arah abang-abang yang jual ikan cupang. Gue pikir Sandy bakal ngekorin gue, tapi ternyata enggak. Malahan sekarang dia lagi ngantri di tempat abang-abang jual lekker.

"Bang, ikannya berapa?"

"Untuk Mas, lima ribu sajaaa."

"Ha, mahal amat, Bang."

Ode to Youth | Journey of the YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang