32 | Sore di Hari Senin

263 44 4
                                    

"Sa." panggil seorang laki-laki berhoodie sambil menyerahkan sekaleng kopi pada laki-laki lain yang lagi sibuk memperhatikan layar kameranya. "Mirza jadi pindah ke tempat gue gak, sih?"

"Kenapa gak nanya orangnya langsung?" tanya yang ditanya tanpa memindahkan fokusnya pada layar.

"Kan lo satu kosan sama dia." jawab laki-laki itu sebelum meneguk sekaleng kopi miliknya. "Kamar sebelah gue katanya ada yang mau masuk. Gue gak bisa jagain lama-lama." lanjutnya.

"Dia gak ada bilang ke gue. Lo tanya aja sendiri." ucap Eisa, selaku lawan bicara sambil membuka tutup kaleng kopi tersebut.

Drrrtt

Melihat handphone Eisa yang bergetar cukup kuat dan dari ekspresi Eisa yang mengernyitkan dahi, laki-laki berhoodie tersebut bertanya, "Siapa?"

"Gue angkat dulu." ucap Eisa yang kemudian menjauh sambil membawa sekaleng kopi yang sejak tadi belum jadi ia minum. "Halo."

"Halo, Sa. Lagi dimana?"

"Di luar, Bang. Tumben? Ada apa lagi, nih?" tany Eisa sebelum meneguk kopi yang ia genggam.

"Kirain di rumah. Tadinya gue mau minta tolong, tapi karena lo lagi di luar ya gak jadi."

Mendengar penjelasan tersebut, membuat Eisa menarik sudut bibir kirinya. Setaunya, lawan bicaranya ini bukanlah seseorang yang gampang untuk minta tolong ke orang lain. Apalagi, ia minta tolong pada Eisa, seseorang yang susah untuk dimintai tolong.

"Ooh minta tolong apa emangnya?"

"Ngantar pulang adek gue. Gue ada perlu, jadi gak bisa jemput. Tadi gue telpon nomornya gak aktif."

Tiga puluh menit kemudian...

Eisa menghentikan motor yang selalu menemaninya di depan sebuah warung di samping sebuah rumah besar. Sambil menunggu seseorang keluar dari pagar rumah tersebut, ia menenangkan hatinya yang entah kenapa menjadi gugup. Gak lama kemudian, seorang perempuan keluar dan menatap heran pada Eisa yang sedari tadi memperhatikannya.

"Mas ngapain di sini? Kok gak masuk? Bapak pergi kok, Mas." ucap Dini yang kini udah berdiri di hadapan Eisa.

"Buruan naik!" perintah Eisa yang sama sekali gak peduli dengan pertanyaan dan ucapan itu. Ia bahkan melempar helm ke Dini, untung aja gak jatuh.

"Loh? Mas Eisa ngapain?" tanya Dini yang mulai kebingungan tersebut.

"Naik atau lo pulang jalan!"

"Ta-tapi, Mas, itu.. Saya nunggu-"

"Bang Ujik nyuruh gue nganter lo pulang."

Ucapan Eisa berhasil membuat Dini diam untuk sejenak. Apa benar Ujik menyuruh Eisa mengantarnya? Kemana Ujik? Kenapa Eisa mau? Begitu isi pikiran Dini.

"Serius, Mas? Mas bercanda ya?"

"Oke, gue tinggal."

Melihat Eisa yang langsung menghidupkan motornya, membuat Dini berlari ke arah depan dan menahan motor besar nan tinggi tersebut. Ia sengaja menahan kepergian Eisa karena mengingat bahwa handphonenya mati. Bisa jadi, kan, kalau ternyata Eisa jujur. Begitu pikir Dini.

"Eh iya. Iya ini saya naik."

Setelah memasang helm, dengan susah payah akhirnya Dini naik ke motor yang memiliki jok kecil tersebut.

Cuaca sore itu sedikit mendung. Ramainya lalu lintas membuat Eisa membawa motornya dengan pelan. Alih-alih menikmati sore, ia takut Dini yang duduk menyamping itu jatuh. Sebenarnya Eisa heran, kenapa Dini gak memegang pinggang atau bajunya? Kalau cewek-cewek lain, tanpa disuruh langsung memegang pinggang, baju, dan bahkan memeluknya dengan erat.

Ode to Youth | Journey of the YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang