29 | Qtime

248 45 6
                                    

"Bang, Mir. Gue udah tau semuanya. Rahasia lo."

"Ha?" Mirza gak bohong. Dia emang gak denger apa yang dibilang Chan.

Karena gak dengar, Mirza menurunkan laju kendaraannya dan membiarkan motor lain yang searah dengannya melewatinya.

"Apa Chan?" tanyanya kemudian.

"Gue ada salah ya, Bang? Lo mau pindah gara-gara gue ya?"

Jelas bukan ini yang dikatakan Chan tadi. Entah kenapa Chan merasa ragu untuk mengulang apa yang ia katakan tadi. Mungkin lebih baik kalau ia diam aja. Sementara itu, Mirza kembali merasa bersalah pada Chan. Ia sendiri pun bingung dengan pilihan yang ia buat sendiri.

"Enggak. Siapa yang mau pindah? Kenapa lo jadi sadboi gini dah?" tanyanya berpura-pura santai.

"Gue takut aja, Bang. Takut kalau ternyata gue bener. Takut kalau ternyata kesalahan gue sama lo itu fatal."

"Enggak Chan. Gue yang harusnya minta maaf."

"Kalau gue ada salah, tolong kasih tau ya, Bang."

Beberapa saat kemudian...

Rombongan yang udah kayak orang tawuran tersebut sampai di sebuah gedung yang biasa mereka kunjungi kalau lagi semangat mengeluarkan keringat. Gak ada yang berubah dari tempat tersebut, masih ramai, masih bersih, dan penjaganya pun masih akrab dengan mereka.

Setelah bertukar sapa, Joshua yang bertugas menjaga barang bawaan teman dan adik-adiknya duduk di luar lapangan yang dikelilingi jaring berwarna hitam. Sebenarnya ia juga mau bermain dan bercanda seperti yang lain, tapi karena kakinya yang masih sakit membuatnya cuma bisa diam ngeliatin teman dan adik-adiknya tersebut. Apalagi sebelum berangkat, ia udah diultimatum oleh yang lain agar gak menginjakkan kaki di atas lapangan.

"Lah? Mirza Chan belum nyampe?" tanya Diki yang sadar dengan ketidak hadiran dua orang tersebut.

"Paling ngisi bensin."

"Kalau gak bannya bocor."

"Gue yakin dia kena sial di jalan."

"Jelek amat doa kalian." ucap Diki sambil tertawa.

"Bukan Mirza namanya kalau gak kena sial."

"Sialnya lagi Chan jadi keseret hahahah."

"Panjang umur tuh orang." ucap Haikal sambil menunjuk dua orang yang lagi berada di dekat Joshua.

Setelah puas bermain selama kurang lebih satu jam tiga puluh menit, dengan tubuh yang penuh dengan keringat, mereka berkumpul di tepi lapangan sambil meluruskan kaki.

"Bodoh... Bodoh..." gumam Johan begitu melihat Joshua yang dipapah Diki menuju segerombolan orang yang lagi duduk santai.

Alasan kenapa Johan mengatai sahabatnya itu adalah karena Joshua yang gak tahan ngeliat teman-temannya main. Dengan kaki pincang, ia berlari dan menendang bola seolah-olah kakinya gak kenapa-kenapa. Lalu saat ini, ia mengerang kesakitan. Karena memakai celana pendek, tampak kain kassa yang membalut lututnya itu hampir terlepas.

"Hahaha, udah dibilang gak usah main." ejek Chan pada Joshua.

"Batu!" tambah Ceri yang diikuti anak-anak lain, sedangkan Joshua cuma diam mengabaikan ejekan mereka.

"Bentar lagi maghrib, kita langsung balik ya." ucap Ceri setelah mereka diam beberapa saat.

"Iya, perban gue minta diganti nih." respon Joshua sambil menyentuh perban yang menutup luka di lututnya itu.

Melihat apa yang Joshua lakukan, Diki yang duduk di samping Joshua langsung berteriak sambil menepuk tangan yang berada di atas perban tersebut. "Bang, jangan lo buka! Ntar kemasukan debu terus infeksi!"

Ode to Youth | Journey of the YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang