3 | Lelaki Sial Baik Hati

714 101 0
                                    

Mirza POV

Mungkin hari ini adalah hari tersial dihidup gue. Udahlah dompet gue ketinggalan di rumah, ban motor bocor di tengah jalan, kamar kosan udah kayak tempat sampah, dikejar kecoa terbang lagi. Apes bener.

Bg Ujik Kos

Bg
Kmr udh gw beresin
Baju lo udh gw susun
Handuk lo udh gue amankan
Beliin gw pls 20rb
Ke nmr satu lg y

Setelah mengirim pesan ke Bang Ujik, gue langsung nyariin Bang Jo. Bang Joshua atau yang lebih dikenal dengan Bang Jo adalah abang gue yang paliiiiiiinggg baik di kosan. Pokoknya kalau gue ada apa-apa, dia selalu bersedia nolongin dan bantuin gue. Gak kayak yang lain, yang bisanya cuma ngomel-ngomel plus nyuruh-nyuruh gue.

Karena gak menemukan Bang Jo di kamarnya, gue langsung keluar. Biasanya nih, Bang Jo nyebat di gazebo. Fyi, penting gak penting, Bang Jo ini merupakan perokok aktif. Dalam sehari dia bisa menghabiskan paling sedikit 2 bungkus. Gue heran sama orang-orang yang merokok, apa gak kasihan sama paru-parunya?

Dari teras, gue bisa liat Bang Ceri, Bang Wayu, dan satu orang yang gue gak tau siapa. Temen mereka kali ya. Karena gak menemukan sosok Bang Jo, akhirnya gue memutuskan untuk kembali masuk.

"AAA!!" teriak gue dan Diki serempak.

Sumpah gue kaget banget, rasanya jantung gue mau keluar dari tempatnya. Lagian kenapa tuh anak tiba-tiba keluar?

"Sialan! Mau kemana lu?" tanya gue pada tersangka yang udah bikin gue jantungan.

Diki yang nama panjangnya susah untuk gue sebutin ini, selalu pakai celana pendek di atas lutut. Seksi, pokoknya. Tapi saat ini, dia pakai training panjang dan topi warna putih. Gue yakin tuh topi punyanya Bang Jo.

"Indamaret, gue belum beli sabun." jawabnya yang masih megangin dada.

"Yok, gue anter."

Sambil jalan ke parkiran, mata gue mencari sosok yang tadi duduk bareng Bang Ceri dan Bang Wayu. Apa temen mereka udah pulang, ya? Tapi kok gue gak denger suara pagar?

Fyi, lagi, penting gak penting, pagar di kos gue ini sengaja gak dipoles minyak supaya para penghuni yang di dalam kosan kedengaran kalau ada yang datang. Kebayang kan, gimana ribut dan sulitnya buka tuh pagar?

Kembali ke sosok yang gue liat tadi, itu bener temennya Bang Ceri dan Bang Wayu atau hantu ya?

Gak bosan-bosannya gue menyebutkan, fyi, nih, penting gak penting, semenjak kelas 1 SMP mata gue selalu liat yang aneh-aneh. Kadang gue bingung, yang gue liat itu beneran atau enggak. Pernah, gue mengira seseorang itu hantu, tapi ternyata dia manusia. Begitu pula sebaliknya. Mata gue emang rada aneh, kayaknya.

Sesampainya di Indamaret, gue ngekorin Diki ke rak sabun-sabunan. Belanjaannya gak banyak, cuma sabun cair, sabun pencuci muka, sampo sachet, odol, dan sikat gigi. Dan yang lebih parahnya lagi, dia gak ada sedikit pun menawarkan gue untuk beli sesuatu. Padahal udah dianterin juga.

"Udah? Itu doang?" tanya gue saat Diki berjalan ke arah kasir, dan dia cuma menjawab dengan anggukan. Gak peka emang.

Gue pun keluar dan duduk di atas motor. Sambil nungguin Diki, gue mengeluarkan handphone yang baru gue pakai selama sebulan. Ada pesan, cuy.

Telkamsel

Terimakasih telah melakukan pengisian ulang dgn SN 17001700017170 senilai 20000.

Untuk Bang Ujik yang super duper sibuk, dimana pun lo berada, thank you very much!

Begitu pulsa masuk, gue langsung nelpon seseorang perempuan yang merasa dirinya muda bak abege, padahal udah tua. Btw, Diki udah keluar dan lebih parahnya lagi, dia makan es krim tanpa nawarin gue. Punya temen kok gini amat ya?

"Assalamualaikum, apaan? Udah habis sangunya?" suara perempuan yang merasa dirinya masih muda tersebut memenuhi telinga gue. Semangat amat ngomongnya. Kalau kangen bilang, dong!

"Waalaikumsalam. Belum juga Za pakai. Gimana mau pakai, dompetnya ketinggalan."

"Dimana?"

"Di dalam kamar kayaknya."

"Kamunya sekarang dimana?"

"Ooohh lagi nemani Diki ke Indamaret. Bu, kirimin dompet Za ya Bu. Gak mungkin Za pulang kan? Bolak balik."

"Iya iya, besok dikirim."

"Lebihkan ya, Bu. Za punya utang sama abang bengkel."

"Utang apaan?"

"Tadi ban Za bocor, Bu."

"Terus bayarnya gimana?"

"Ya ngutang."

"Oh yaudah, besok bayar tuh utang!"

"Kirimin dompet Za ya, Bu."

"Iya iya."

"Sip. Makasih, Bu. Maaf repotin."

"Alah, biasanya juga ngeropotin, mulu! Ibu tutup nih. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatu."

"Udah?" tanya gue pada Diki yang sedari tadi liatin gue dan dia cuma mengangguk.

Sumpah ya, kalau pergi sama Diki tuh, gue ngerasa pergi sama adek gue. Selain karena mukanya yang polos, Diki ini penurut banget. Padahal gue dan Diki itu sebaya, malahan duluan dia yang lahir.

Indamaret yang gue dan Diki kunjungi ini lumayan jauh dari kos. Sebenarnya ya, gak perlu ke Indamaret buat beli sabun-sabunan, tapi karena Diki mau ke sana, yaudah gue turuti.

Sesampainya di depan pagar kos, Bang Ceri dan Bang Wayu udah gak ada di gazebo, tapi sosok lain yang gue kira temennya mereka ada.

Perasaan dulu-dulu dia nggak ada, deh. Apa baru pindah?

Gue gak akan nyeritain gimana wujud, bentuk, atau rupanya sebelum gue yakin kalau dia makhluk yang sama kayak gue. Tapi gue yakin dia makhluk lain, soalnya, Diki yang biasanya senyam-senyum ke orang lain saat ini diam aja tuh.

Gue mematikan mesin motor tepat di depan teras. Gue sengaja gak memarkirkan motor di parkiran. Jauh, woy!

"Za!" teriak soulmate gue yang lagi santuy di teras. "Lu tau jam jam kafe kan? Temenin gue ntar malam ke sana ya!."

"Pas banget nih, Sa. Dompet gue ketinggalan di rumah, besok baru di kirim."

"Iya iya, aman."

Mahesa ini adalah soulmate gue semenjak jadi maba, padahal kita beda jurusan. Hebat kan, persahabatan gue?

Mahesa atau Eisa ini orangnya rada pelit, tapi kalau dia butuh sesuatu, dia rela ngapain aja buat dapatin apa yang dia mau. Minjamin gue uang, misalnya. Tapi ya, kalau di suruh milih minta tolong ke siapa, gue tetap milih Bang Joshua walaupun Eisa itu sahabat gue. Soalnya Bang Joshua itu tanpa pamrih, beda dengan Eisa.

"Lu mau ngejob, Sa?" tanya Diki.

"Iye, cuma foto produk, sih."

"Ajakin gue, ngapa? Gue pengen sesekali nongki di kafe. Sebelum sibuk bikin laporan nih."

"Dompet lo ada kan?"

Diki mengangguk sambil mengeluarkan dompetnya dari saku training.

"Sip. Mandi lu, jangan gak mandi!"

"Santuy, Bro!"

Sebelum kami bertiga masuk, gue kembali menoleh ke belakang. Liatin gazebo tempat biasa penghuni kos nyantai dan makan siang. Sebenarnya gue reflek aja sih, liatin gazebo.

Makhluk yang tadi ada di sana udah gak ada. Gue harap dia emang betulan pergi dan gak kembali lagi. Kalau penghuni kos tau, bisa gawat. Gue gak mau kejadian yang lalu terulang lagi. Cukup gue aja yang sial, mereka jangan.

Baik amat gue, ya.

Lagian nih ya, gue gak sanggup kalau harus pisah dari mereka semua. Walaupun mereka nyebelin, hidup bersama selama beberapa tahun ini membuat gue gak rela buat pisah.

Mirza POV has ended.
Tbc.

Ode to Youth | Journey of the YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang