5 | Waktu Dini Hari

559 88 3
                                    

Wayu POV

Akibat kalah main lempar sampah ke dalam tempatnya, gue berakhir jadi tukang bersih-bersih. Untung aja ruang tengah kosan kecil, kalau segede ruang tengah di rumah, bisa mampus gue. Tapi gak apa sih, kalau mampus.

Saat membawa gelas bekas minum manusia-manusia laknat ke dapur, gue ketemu Ujik yang lagi masak mie instan. Gue jadi ingat, kayaknya gue belum makan deh.

"Jik, Hansol ngasih oleh-oleh. Noh, punya lo." ucap gue sambil menunjuk mangkok yang terbalik di atas meja.

Jadi kue tadi itu diletak di atas piring, terus piringnya ditutup pakai mangkok yang ukurannya lebih gede daripada piring. Gitu..

"Oh oke, makasih, ya."

"Jangan makasih ke gue, ke Hansol."

"Oh iya. Mana anaknya?"

"Hansol mah, belum punya anak, Bang." ucap Diki yang muncul entah dari mana.

"Ah iya. Maksud gue, Hansol mana?"

"Di luar kayaknya." jawab gue.

"Lah, ngapain malam-malam di luar?" tanya Diki yang sekarang lagi membuka bungkus mie instan.

"Paling telponan, biasa. Dik, punya gue sekalian, ya!"

Sebenarnya ya, gue gak mau iri sama Hansol, tapi namanya perasaan kan suka datang tiba-tiba. Mau gue abaikan gimana pun, pasti sedikit demi sedikit dia muncul. Gue takutnya perasaan gue ini malah bikin hubungan gue renggang. Emang kalau ngomongin perasaan ini gak ada habis-habisnya. Soalnya ribet.

Baru aja diomongin, eh dipikirin, eh diapain sih, pokoknya intinya Hansol datang. Mukanya kusut, kayaknya udah ngantuk. Asik ye, pasti seru telponan sampai ngantuk gitu. Ngomong-ngomong, lama juga loh, dia telponannya. Ah, udahlah, ntar rasa iri gue muncul.

"Bang Ujik! Gue bawa oleh-oleh. Di atas meja, ya!" ucap Hansol.

"Thanks, Sol."

Setelah itu Hansol masuk ke kamarnya.

"Bang bukannya tadi lo udah makan?" tanya Diki yang udah jelas ke gue.

Ah, masa sih? Rasanya belum deh.

"Punya gue udah jadi?" tanya gue menghampiri Diki dan Ujik di meja makan.

Sambil menikmati mie buatan Diki, gue diam mendengarkan percakapan 2 orang anak fmipa di samping gue ini.

"Bang, gue dapat Pak Abdul." ucap Diki yang membuat Ujik tersedak karena tertawa.

"Kan udah gue bilang, jangan ambil! Gimana sih?"

"Ya, gimana lagi. Gue salah perhitungan."

"Cih. Gue kasih tau diawal, biar lu gak kaget. Tanggal merah lo tetap masuk." sekarang Ujik udah berdiri di depan wastafel. Gue kirain mau nyuciin piring bekas dia makan, ternyata nyuci tangan.

"Serius, Bang?"

Hal-hal yang berhubungan dengan perkuliahan emang selalu berhasil bikin deg-degan, contoh kecilnya nih, sewaktu ngisi KRS. Mau jurusan udah paketin jadwal kuliah atau belum, sama-sama bikin deg-dig-ser. Tapi kayaknya contoh ini gak berlaku buat Bang Johan deh.

Sepintar-pintarnya gue, jauh lebih pintar Bang Johan. Gak cuma dipelajaran, dia juga jago di olahraga, game, nasehatin orang, sampai ngata-ngatain orang. Hebatnya lagi ya, walaupun dia dikelilingi orang-orang yang merokok, dia sama sekali gak tergoda sama rokok. Beda sama gue.

Yah, pokoknya, intinya, perkuliahan itu emang selalu berhasil bikin perasaan gak tenang. Bang Johan yang gue ceritain tadi itu aja, luar biasa gelisahnya H-sebulan sidang skripsi. Satu bulan lagi padahal.

Ode to Youth | Journey of the YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang