16 | Jadi Ini Awalnya?

336 51 0
                                    

Seperti biasa, sore ini pun Ceri mengunjungi rumah Anin. Sebenarnya udah tiga hari berturut-turut ia ke sana, ada-ada saja alasan yang ia siapkan agar bisa melihat Anin. Ngajak Bapaknya Anin main catur, misalnya.

Dengan membawa satu kotak martabak manis, Ceri melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri menuju pintu yang memang udah terbuka.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Jika biasanya Ibuknya Anin yang menyambut kedatangannya, kali ini Anin sendirilah yang menyambutnya.

"Gue bawa martabak, Nin. Martabak kacang."

"Waah makasih ya, Cer! Masuk.. Masuk.."

"Kok sepi, Nin?" tanya Ceri sebelum menjatuhkan bokongnya di atas sofa.

"Bapak Ibuk lagi ke rumah sakit, paman gue habis operasi usus buntu." jawab Anin sambil membawa sekotak martabak tadi ke belakang.

"Kok lo gak ikut, Nin?"

"Bentar, gue ambilin minum!" teriak Anin sembari melangkah.

Bagi Ceri, Anin adalah perempuan yang sempurna untuknya. Teman sedari maba yang selalu ramah dan gak risih ketika Ceri selalu bertanya tentang ini itu, maklum, Ceri itu ngeyel orangnya. Karena pada saat semester dua mereka gak sekelas, mereka pun jarang ketemu. Kalau bukan karena Anin mengundang Ceri saat ia melaksanakan ujian proposal, mungkin mereka tidak akan kembali sedekat ini. Dan dari sanalah, benih-benih cinta yang berada di hati Ceri untuk Anin tumbuh.

Bagi Ceri, Anin berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang gampang ia dekati. Ada sebuah keraguan yang membuat Ceri maju mundur untuk lebih gencar mendekati Anin. Tapi saat ini, perasaannya semakin menggebu-gebu hingga tanpa sadar ia rela mengeluarkan uang demi bisa membawa sesuatu dan berjumpa dengan Anin. Padahal biasanya, ia selalu perhitungan.

Ketika asyik berbincang dan bercanda, kedua orang tua Anin pulang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Loh, ada nak Ceri, tah." ucap Ibuk Anin begitu melihat Ceri mengulurkan tangan untuk menyalaminya.

"Jadi kalian ini pacaran atau tidak?" pertanyaan dari Bapaknya Anin membuat Ceri tersedak martabak kacang hingga membuat tenggorokannya terasa gatal. Untung aja gak batuk.

Walaupun udah lama berteman, Ceri tetaplah seorang laki-laki yang harus terlihat keren dan berwibawa di depan seorang perempuan. Terlebih, perempuan yang ia sukai.

"ENGGAK! Bapak apaan sih?!" tolak Anin dengan cepat hingga membuat Ceri terkejut.

Bagi Ceri, respon yang diberikan Anin terlalu berlebihan hingga membuat kepercayaan dirinya ciut untuk mengungkapkan perasaannya.

"Kalau sama Ceri, Bapak setuju loh, nduk. Ibuk pun pasti setuju itu." ucap Bapaknya Anin sambil melirik isterinya yang sedang melepas sepatu di ambang pintu.

Ucapan yang keluar dari mulut Bapaknya Anin membuat Ceri merasa senang dan kepercayaan dirinya kembali muncul. Gimana gak senang kalau udah dikasih lampu hijau dari calon mertua?

"Bapak apaan sih? Udah deh, nanti Cerinya ke-geer-an."

Selepas menghilangnya kedua orang tua Anin dari ruang tamu, Ceri dan Anin hanya diam sambil menatap layar handphone masing-masing. Hati nurani dan logika Ceri saat ini sedang berdebat, yang satu ingin jujur sedangkan yang satunya terlalu insecure untuk mengaku.

Setelah hening yang panjang, Ceri memberanikan diri untuk bersuara, "Nin?"

"Ya?"

"Ada yang mau gue bilang."

Ode to Youth | Journey of the YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang