11 | Keluarga

438 63 0
                                    

Bagi gue keluarga adalah segalanya. Bunda adalah orang yang paling berjasa di hidup gue, adik-adik gue adalah penghibur sekaligus penyemangatnya gue. Sebagai anak tertua, gue harus bisa memberi contoh yang baik kepada mereka semua. Gue juga harus bisa memberi motivasi pada mereka agar mereka rajin belajar dan gak melawan pada Bunda.

Karena aktivitas gue di kampus berakhir pukul 13.40, gue memilih pulang. Bukan pulang ke kosan, tapi pulang ke rumah. Rumah yang selalu menjadi rumah, rumah yang selalu menerima bagaimana pun keadaan gue, rumah yang selalu berhasil membuat gue ingin pulang.

"Bun, nanti Dini pulangnya jam berapa?" tanya gue pada wanita paruh baya yang sedang melipat pakaian adek-adek gue.

"Sekitar jam limaan, A. Aa mau jemput?"

"Iya, Bun."

"Ucuuupp!" teriak Bunda memanggil Yusuf, si bungsu nomor lima. Adek gue banyak, soalnya.

"Nanti temenin A Uji jemput Teh Dini ya." ucap Bunda begitu Ucup datang dan Ucup langsung menganggukkan kepalanya berkali-kali dengan keras. Gue takut kepalanya lepas.

Ucup ini masih kelas dua SD, dari semua anak, cuma dia yang gak banyak cerita dan penurut. Tapi saking penurutnya dia, gue jadi takut dia diapa-apain sama orang gak dikenal. Apalagi Bunda sendirian, gimana caranya ngurus 13 anak sendirian? 13 anak ini gak termasuk gue dan Dini ya. Soalnya kami sama-sama udah besar.

Ngomong-ngomong soal Dini, dia adalah adek gue yang paling sering bikin gue merasa bersalah. Seharusnya yang kuliah itu Dini, bukan gue. Harusnya yang menikmati masa muda sebagai seorang mahasiswa itu Dini, bukan gue. Harusnya yang mengenyam pendidikan lebih tinggi itu Dini, bukan gue. Dan harusnya, yang bekerja membantu Bunda itu gue, bukan Dini.

Tapi takdir berkata lain. Donatur panti asuhan hanya membiayai satu anak untuk berkuliah, dan itu gue. Andai aja saat itu gue alihkan untuk Dini, mungkin gue gak akan semenyesal ini. Tapi penyesalan tetaplah penyesalan yang harus gue bayar dengan prestasi agar kelak dapat menggantikan Dini. Para donatur memang ada, tapi gak mungkin kan bergantung pada mereka? Begitu kata Bunda.

"Ji, tadi ayah kamu ngirim uang. Lihat ya, Nak. Jangan sungkan makainya, itu hak kamu."

"Iya, Bun. Makasih."

Jujur, gue paling gak suka kalau Bunda nyebut salah satu donatur dengan 'ayah kamu'. Walaupun gue sangat amat berterima kasih atas kiriman uang yang selalu ia kirimkan,tapi gue tetap aja gak suka. Sampai kapan pun dia itu donatur, bukan ayahnya gue.

Setelah menyelesaikan salah satu laporan, gue merenggangkan badan. Karena udah jam lima, gue nyari Ucup karena mau pergi. Sebelumnya gue nelpon Dini, tapi nomornya gak aktif. Kayaknya kehabisan baterai lagi. Baru beberapa langkah keluar dari rumah, gue melihat Dini bersama seorang laki-laki yang gue kenal. Kok bisa?

"Bang Ujik, ngapain di sini?" tanya laki-laki tersebut saat gue telah berdiri di balik pagar.

"Harusnya gue yang nanya. Masuk!" ucap gue sambil membukakan pagar untuknya. Setelah ia masuk, gue langsung menutup kembali pagar. Takut ada orang yang gak dikenal masuk.

"Aa kenal sama Mas ini? Mas ini anaknya majikan Dini, A." ucapan Dini membuat langkah gue terhenti. "Jangan diapa-apain ya, A." lanjutnya sambil memegang lengan gue.

"Istirahat, gih."

Setelah mengajak Eisa duduk di kursi yang berada di teras, gue langsung melayangkan banyak pertanyaan. Kalau dipikir-pikir, gue udah kayak bapak-bapak yang lagi mengintrogasi calon pacar atau suami anak gadisnya.

"Kok gue ngerasa ngobrol sama calon mertua ya, Bang?" tanya Eisa sambil tertawa. "Bang, gue gak bakal suka sama adek lo. Tenang aja. Gimana mau gue apa-apain kalau gue aja gak suka. Jangankan suka, tertarik aja enggak. Dia bukan selera gue, Bang."

Ode to Youth | Journey of the YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang