23 | Gelisah

348 49 1
                                    

Sambil menunggu pesanannya yang berupa nasi kucing lengkap dengan tempe dan segala jenis sate-sateannya, Ujik duduk sambil menikmati teh telur pesanannya. Walaupun matanya tertuju pada pengamen yang lagi bernyanyi dan memainkan ukulele asal-asalan, pikirannya fokus mengingat percakapan singkat yang ia lakukan dengan sang Bunda.

"Aa, kenapa tadi gak keluar?" tanya sang Bunda pada Ujik yang lagi mencuci piring bekas makannya.

"Ya.. Gak apa, Bun. Hehehe."

"Ayah kamu nungguin loh tadi."

Mendengar ucapan sang Bunda, Ujik menarik salah satu sudut bibirnya. Ia malas mendengar kalimat 'ayah kamu' yang keluar dari mulut sang Bunda. Walaupun ia berterima kasih kepada donatur tersebut, tapi tetap aja, donatur itu gak mungkin ayahnya.

"Bun, apa bener dia ayah Aa?" tanya Ujik sambil mengelap tangannya yang basah.

"Mau sampai kapan Aa nanyain itu terus?"

"Aa masih gak percaya, Bun. Kalau memang iya, pertanyaan Aa masih sama."

"Daripada mendengar jawaban Bunda terus, lebih baik kalau Aa dengerin jawaban dari orangnya langsung, kan? Tanyakan semua hal yang bikin Aa bingung, Aa gak ngerti. Jumpai dia, Nak."

Ucapan yang menjadi penutup percakapan singkat tersebut cuma Ujik iyain. Jangankan menanyakan apa yang ada di kepalanya, bertemu dengan donatur itu aja berhasil bikin Ujik gak nyaman. Terlalu banyak kecanggungan di antara Ujik dan donatur yang mengaku 'ayah'nya tersebut.

Tapi, apa yang diucapkan sang Bunda gak salah. Benar, cara yang paling tepat untuk mengetahui jawaban atas segala pertanyaannya adalah menemui orang tersebut dan menanyakannya secara langsung.

Di kosan...

Ceri duduk di gazebo sambil membakar rokoknya. Di temani oleh Jun, suara jangkrik, serta udara malam, ia membuang asap dari dalam mulutnya dengan penuh gaya.

"Gue liat-liat gaya nyebat lo udah mirip Bang Jo, Bang." ucap Jun sambil tertawa dan Ceri cuma tersenyum mendengarnya.

"Wayu mana, Jun? Tumbenan amat tuh anak." tanyanya kemudian.

"Paling bentar lagi juga ke sini, Bang. Dia dapat panggilan alam."

"Jun." panggil Ceri setelah mereka berdua diam dalam hening.

"Hm? Paan, Bang?"

"Kalau misalnya nih, misalnya."

"Iye, misalnya."

"Lo suka sama pacarnya temen lo, bukan deh, sahabat. Lo suka sama pacarnya sahabat lo. Gimana?"

"Bang, kayaknya lo salah tempat bertanya deh, Bang." ucap Jun yang masih memasang wajah cengo.

"Oh iyaya. Hahahahha. Sorry, Jun, sorry. Hahahahah."

"Untung gue santuy." ucap Jun kembali menghisap rokok yang ada di tangannya. "Tapi, ya, Bang, gue pengen banget kayak lo, kayak Mirza, kayak yang lain. Sekeras apapun usaha gue, tetap aja gue gak bisa, Bang."

"Bukan gak bisa, tapi belum. Nikmati aja usaha lo. Bisa ala biasa, Jun."

"Tapi kalau gue tetap gak bisa, gimana, Bang?"

"Pesimis amat idup lo!"

"Kan kalau, Bang. Perumpamaan."

"Pasti bisa." ucap Ceri membuang rokoknya yang udah habis ke arah semak-semak. "Gue heran deh, Jun. Lo emang gak suka sama cewek? Lo pernah onani, kan?"

"Anjir, Bang! Privasi gue ituu!"

"Serius, jawab pertanyaan gue." ucap Ceri sambil tertawa.

"Ya.. Pernahlah, Bang." ucap Jun malu-malu. "Gue bukannya gak suka cewek, gue cuma gak berani. Rasanya, makin bertambah umur, mereka makin seram."

Ode to Youth | Journey of the YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang