Profesor Malik

93 57 11
                                    

Batu, Desember 2023

Tiga kendaraan militer jeep berlapis baja melaju siaga di perkampungan lereng Gunung Kawi, Kota Batu. Beberapa tentara berpakaian loreng hijau kecoklatan berdiri memegang senapan mesin. Sementara satu helikopter mengudara rendah melindungi. Warga setempat yang mendengar laju kendaraan tak berani keluar rumah. Mereka hanya mengintip dari jendela-jendela rumah atau lubang-lubang pintu.

Tiga kendaraan tersebut berhenti di sebuah halaman rumah tua bergaya eropa yang dipenuhi pohon apel sedang berbuah. Seekor anjing bulldog menggongong menyambut kedatangam mereka. Tentara-tentara itu turun dari jeep menyebar berjaga. Seorang letnan bernama Budi membuka pintu kiri jeep. Ia melenggang berjalan menuju pintu rumah tersebut.

Sementara pemilik rumah adalah seorang profesor terkemuka yaitu Profesor Malik. Ia berlari dari jendela depan rumahnya menuju tempat penyimpanan senjata rahasia. Profesor mengambil dua senapan angin dengan tergesa, lantas berlari menaiki anak tangga menuju loteng.

“Jihan,” Profesor menemukan putrinya yang sedang mengintip dari jendela loteng.

“Ini… bawalah!” Sang ayah memberikan senapan angin ke jihan. Sejak usia sepuluh tahun, ia sudah diajari oleh ayahnya menembak dan memanah. Sehingga memegang senapan bukanlah hal baru baginya. Semakin dewasa usia duapuluhan ia semakin mahir.

“Ayah siapa mereka? Untuk apa kemari?”

“Dengarkan ayah!” sang ayah memegang kedua lengan putrinya, menatap dengan serius.

“Mereka tentara suruhan I Gede Putu, Ayah akan dibawa ke Kota Terakhir untuk membuat antivirus.”

“Kota Terakhir?” jihan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh ayahnya.

“Jihan, tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan semuanya. Ini kunci lab ayah, disana kau akan tahu siapa I Gede Putu dan Kota Terakhir. Kemungkinan mereka akan menggeledah rumah untuk mencarimu. Jika mereka berhasil menemukanmu kau akan menjadi tawanan. Ayah tidak akan membiarkan itu, maka bersembunyilah disana!” sang ayah menyuruhnya bersembunyi di ruang rahasia loteng.

Profesor malik memeluk erat putrinya. Jihan menangis tersedu membalas dekapan erat. Berat rasanya melepaskan sang ayah. Mungkin saja ini kali terkahir mereka bertemu.

Rumah itu adalah peninggalan kakek-nenek profesor malik, dibangun sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1928. Tahun dimana saat tercetusnya sumpah pemuda. Garis keturunan bangsawan Bahrain mengalir di darah Profesor malik. Dahulu, saat Bahrain masih dalam perlindungan Britania raya, seorang pemuda penuh hasrat bernama Daud Salim Al-Ghazali berlayar jauh dari teluk Persia hingga samudera Hindia. Lantas angin membawa kapal itu berlayar semakin jauh hingga bahan bakar menipis. Terpaksa kapal berhenti di sebuah pulau pesisir garis pantai selatan jawa. Tepatnya di pulau sempu kabupaten Malang.

Dalam masa pemerintahan Hindia-Belanda, daud salim beserta seluruh awak kapal disergap oleh pasukan hindia-belanda. Alhasil kapal, barang berharga seperti emas, persenjataan, dan bahan baku diambil oleh pasukan tersebut. saat menjadi tawanan, ia dan awak kapalnya melarikan diri, namun hanya ia yang berhasil kabur menuju pegunungan.
Disanalah pertemuannya dengan Belinda, gadis keturunan Belanda-Indo pewaris tunggal tuan tanah di lereng gunung kawi. Gadis itu menjadi tambatan hati daud salim. Mereka menikah, membangun rumah bergaya eropa hingga akhirnya dikarunia seorang anak yang menjadi ayah dari Profesor Malik Al-Ghazali.

Rumah bagian loteng terdapat ruangan bersembunyi seluas satu setengah kali satu meter persegi muat untuk dua orang dewasa. Ruangan itu hanya bisa dikunci dari dalam sedangkan bagian luarnya hanya tampak seperti atap loteng biasa.

‘Ting tung’ suara bel pintu berbunyi.

“Mereka datang, masuklah!” kata sang ayah.

“Apakah ayah akan baik-baik saja?”

RAJANAMI [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang