Pertemuan Rahasia

53 37 1
                                    

Dokter johan gelisah mondar-mandir sejak tadi di depan taman gedung dewan. Sesekali duduk di bangku besi. Ia menoleh-noleh ke arah gedung, adakah sosok pria berkacamata itu keluar dari pintu utama, sudah dua jam lamanya sang profesor di dalam bersama orang-orang berbahaya, meski adiknya, alex akan melindungi profesor bila terjadi sesuatu. ia sangat mengkhawatirkan profesor akankan bernasib sama dengan prof lee hwang.

Profesor malik sudah dianggap sebagai kakaknya, keluarganya selain alex. Selain itu masih ada gadis yang akan menemuinya. Tentu pikirannya dipenuhi rasa cemas, hatinya berselimut gelisah.
Dokter johan terus menatap pintu berkaca itu penasaran apa yang profesor malik bahas dengan anggota tujuh singa. Jangan sampai profesor terlibat urusan mata-mata di covak tower, sepengetahuan doktr johan, profesor malik tak pernah terlihat mencurigakan. Apalagi menjalin hubungan dengan mata-mata. dia hanya bekerja siang malang mengembangkan antivirus, terkadang menatap foto dirinya dengan sang putri dengan raut nelangsa.

Saat dr johan menilik jam tangannya yang menunjukkan pukul dua belas siang. seseorang misterius mengetuk bahunya. Orang misterius itu mengenakan penutup kepala dengan kain syal coklat, hingga yang terlihat hanya matanya. Ia memberikan sebuah kotak kardus tanpa berkata-kata. Demikian dengan dokter johan yang menerimanya begitu saja. Saat dokter johan mengalihkan pandangannya pada kotak kardus dengan rasa penasaran, ia kembali melihat orang misterius itu menghilang secepat kilat.

Dokter johan duduk ke bangku besi lagi. ia masih berpikir untuk membukanya, ‘apakah ini bom?’ hatinya bergumam. Lalu ia mengocok kardus itu, tak ada suara benda-benda seperti ogam atau besi, bahkan kotak kardus itu saja ringan. Ia menimbang-nimbang dengan tangannya.

Ia menempelkan telinganya ke kotak, barangkali disana ada bunyi detik waktu hitung mundur. Tidak ada, dokter johan merasa aman. Ia mulai membuka penutup kotak itu dengan perlahan. Di dalamnya terdapat dua setel baju sederhana khas distrik enam dan tujuh berwarna crem kecoklatan, dua pasang sandal jepit, satu tas jinjing terbuat dari anayaman bambu dan sepucuk surat. Disana tertulis ‘Pergilah ke tempat biasa mengenakan ini’ di bawahnya tertulis inisal huruf ‘A’ besar.

Dokter johan dikagetkan dengan kedatangan profesor malik.

“Apa itu, Dok?” tanya profesor.

“Astaga, Prof..” hampir saja dr johan melempar kotak itu ke udara.

“I..ini prof dari alex. Sepertinya alex ingin bertemu kita di distrik enam dengan memakai ini.”

Kemudian profesor malik dan dokter johan berjalan menuju stasiun Aruna, distrik dua. Mereka berganti pakaian di toilet umum. Menyimpan barang-barang serta ponselnya ke dalam loker stasiun. Seberes berganti, petugas yang melihat gaya pakaian mereka langsung mengusir ke pintu keberangkatan di ujung. Pintu khusus untuk distrik miskin dan para pekerja kasar. Orang-orang yang melihat ada orang dari distrik miskin berkeliaran merasa jijik memandangi. Menghindar takut bersenggolan.

Terdapat pagar besi yang memisahkan si kaya dan si miskin. Petugas itu menyeret dr johan dan prof malik melewati pintu pagar besi itu lalu mendorong punggung mereka hingga hampir jatuh.

“Dasar orang kaya, sombong sekali.” Ejek kakek tua pengembala kambing. ‘Mbek..ek…’ Kambingnya bersuara seolah setuju apa yang baru saja dikatakannya.

Profesor dan dokter johan hanya menatap diam. Dalam hati mereka sama merasakan bahwa inilah rasanya menjadi orang miskin, di injak-injak, dibedakan, dan tidak dihargai. Begitulah sebuah  potret kecil diskriminasi di rajanami.

Kereta datang, mereka memasuki pintu kereta yang tak memiliki pintu. Dokter johan dan profesor malik tercengang melihat penampakan isi gerbong. tidak ada kursi yang nyaman, tidak ada pendingin ruangan, semua lampu padam dan hanya dua pintu yang dibiarkan terbuka sebagai sirkulasi udara. Mereka duduk di lantai samping pintu. campur aduk dengan pengembala kambing, tukang sayur, tukang rumput, atau pekerja proyek yang tertidur keletihan.

“Prof, profesor lupa membuka kacamata.” Bisik dr johan saat orang-orang memandangi mereka berdua. Profesor membuka kacamata lalu menyimpannya ke dalam tas jinjing anyaman bambu.

Ini ke dua kalinya sang profesor menaiki kereta menuju distrik enam, yang pertama adalah dulu saat tiba di rajanami. ia sempat mengikuti tour keliling kota. Bangunan-bangunan pencakar langit semakin mengecil tertinggal, profesor memandangi covak tower di kejauhan sana. Kemudian kereta memasuki terowongan. Gerbong yang sudah gelap tanpa jendela itu makin gelap berlangsung selama sepuluh menit.

Di ujung terowongan, semburat cahaya matahari mulai terlihat lagi. sinarnya memancar dari sela-sela rerimbunan. Pemandangan hutan hujan tropis yang liar menyambut kepala kereta. Pohon Kiara, si raksasa berusia seabad menjulang sana sini. Akarnya menggantung acak mencengkeram tanah. Suruli saling menyahut di udara. Orang-orang nampak biasa saja dengan pemandangan indah itu, tampak dokter johan dan profesor malik yang terpukau.

Jalur kereta yang dilewatinya dulu tak sama, ini adalah jalur khusus untuk penghuni distrik enam dan tujuh, memutar dan lebih lama namun sepadan dengan apa yang disuguhkan. Rute ini sengaja dibuat membelah hutan, agar memudahkan mengangkut hasil hutan seperti kayu, bambu, buah, dan hasil buruan. Bahkan di tengah hutan terdapat stasiun kecil untuk mengangkut hasil hutan.

Pemandangan itu habis berganti ladang sayuran, para petani terlihat sibuk menggarap ladang masing-masing sementara anak-anak kecil bermain-main di ladang, pemandangan ini, seperti dunia yang dulu. Dulu sebelum virus Sufal mewabah. Ini mengingatkan profesor malik kepada sang putri ‘Jihan putriku, dimanakah engkau?’

‘Tut… Tut… Tut…’ kereta hampir sampai. Para ibu dan istri telah menunggu kepulangan anak-anak dan suami mereka yang bekerja di proyek selama berminggu-minggu bahkan bisa berbulan-bulan. Mereka memeluk anak lelakinya diiringi isak tangis, seolah sebuah adegan kehilangan pernah mereka alami. Dan tak ingin hal itu terjadi lagi. dokter johan dan profesor malik turun, diiringi kakek tua pengembala kambing, serta tukang sayur yang membawa keranjang-keranjang.

Dokter johan berjalan memimpin, menunjukkan tempat dimana dirinya dan alex bertemu. Mereka berjalan menjauhi stasiun. Melewati perkampungan, hingga sampailah disuatu bangunan kecil terbuat dari anyaman bambu, di ujung perkampungan dekat batas hutan. Dokter johan memasukinya terlebih dahulu. Di dalamnya sudah ada alex yang duduk membelakangi ia pun juga memakai baju selayaknya penduduk distrik enam.

“Ah, rupanya sudah tiba. Silahkan duduk kak, Prof.” alex menyambut.

Tanpa basa-basi dokter johan langsung bertanya padanya. Pertanyaan yang ia bawa sejak orang misterius memberikannya kotak kardus.
“Ada apa ini lex?”

“I Gede Putu memperketat penjagaan di semua stasiun, mereka tidak akan mencurigai kalian dengan memakai itu.” Kata alex sambil mencondongkan badan.

“Kami bukan mata-mata, mengapa harus menyamar?” Tanya dokter johan.

“Kak, ini yang akan aku katakan padamu. Pada pertemuan tujuh singa, mereka membahas untuk mencari kandidat baru kepala Projek Covak-2 yang di datangkan dari Eropa jika dalam lima bulan profesor malik tidak menyelesaikannya.” Profesor malik mengelap keringatnya dengan tangan yang meruntus sejak tadi berjalan menyusuri kampung. Sebenarnya yang ia rasakan adalah perasaan cemas.

“Bukannya pertemuan tujuh singa tertutup?” tanya dr johan lagi.

“Iya, aku berhasil menyadapnya, ini!” alex menyodorkan sebuah rekaman.

Siapa saja kandidatnya?’ suara seorang wanita yang tak fasih berbahasa Indonesia, tak lain Mrs Ameera.

Profesor Banning Ardolph sepertinya kandidat yang paling menjanjikan’ timpal seorang pria ‘Iya, portofolionya cukup menarik. Salah satu penemu vaksin SARS termuda’ timpal pria yang tahu siapa pemilik suara tersebut.

Bagaimana dengan profesor malik?’ Tanya seorang pria lain. ‘Ah itu, kita lihat saja dalam lima bulan apakah dia mampu menyelesaikan antivirus kita. Kalau tidak, dia tak berguna lagi’. Dokter johan menelan ludah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan dalam rekaman. Baik profesor malik maupun dokter johan mengetahui persis siapa pemilik suara itu.

“I Gede… “ profesor malik berdeham sekali.

“Tidak ada pertemuan antara saya dan anggota tujuh singa pagi tadi, tepatnya hanya saya dan I Gede saja” pengakuan sang profesor.

“Apa I Gede mengancam profesor?” tanya dr johan.

“Tidak, tapi iya. Maksud saya dia tidak mengatakan secara gamblang bila dalam waktu lima bulan belum selesai apa yang akan terjadi. Namun, dia mengatakan ini sambil berbisik ‘jangan sampai orang yang kau sayangi menderita’. Saya jadi berpikir bahwa I Gede tahu putri saya masih hidup. Mungkin saja sekarang dia sedang melacaknya.”

“Mungkin I Gede sudah menyuruh Letnan Budi untuk melacak putri profesor, saya sudah tidak melihat dia sebulan ini.” Jelas alex.

Semua terdiam sejenak.
“Lex… apa kau kenal dengan ketua distrik?” Tanya profesor beralih topik.

“Saya tidak mengenalnya prof, tapi kita bisa datang ke kantornya.” k
jawab alex.

“Ada apa, Dok?” dokter johan yang selalu penasaran bertanya.

“Saya ingin bertanya mengenai pasien yang terakhir kita uji coba.” Dokter johan mengangguk paham.

Mereka tak bisa berlama-lama berada di gubug itu. Alex mengajak mereka ke sebuah kedai terbuka untuk makan siang yang telat. Kedai itu berdiri di tengah-tengah kebun pinus milik seorang perempuan muda. Lampu-lampu bohlam menggantung di udara sudah menyala menyambut malam.

◼◼◼

Publish 01-08-2020

RAJANAMI [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang