Tiga puluh menit berlangsung, mereka menunggu sampai benar-benar Letnan Budi dan pasukannya pergi. Dewangga meminjam senter Jihan untuk membuka pintu. Dewangga menyuruh teman-temannya menunggu di tempat, ia berjalan menuju pintu yang berjarak beberapa meter. Dewangga berusaha membuka pintu yang terkunci. Namun, entah bagaimana kunci yang berkarat itu tak bisa dibuka. Sempat terbesit ide untuk membuka kunci dengan tembakan, akan tetapi suaranya pasti terdengar di seluruh lorong terowongan. Ia menarik-narik besi itu tapi tak bisa juga, teman-teman yang melihatnya dari kejauhan merasa tegang. Toni memutuskan membantu Dewangga. Ia berjalan tanpa penerangan. Secara bersamaan, Toni dan Dewangga berusaha membuka kunci sekuat tenaga.
“Kenapa kunci ini tidak bisa dibuka?” gerutu Dewangga.
“Sebentar,” kata Toni. Ia mengambil tombak kayunya. Ia mencoba lagi mendorong besi itu dengan tombak.
Toni menghela nafas setelah beberapa kali mencoba akan tetapi tetap saja tidak bisa bergeser.
Jihan berjalan ke sisi lain lorong bawah tanah. Dalam kegelapan, ia seperti melihat jalan menuju ujung yang lain. “Jihan, kau kemana? Hei!” Okki bertanya, Jihan tak menghiraukan. Sementara Toni dan Dewangga masih berusaha membuka kunci.
Jihan menghilang, lenyap dalam kegelapan. Ia berjalan sambil meraba-raba dinding lorong tanah yang lembek dan basah. Lendir-lendir lengket menempel di tangannya begitu ia berjalan lebih jauh. Ia menggesek-gesekan pada jari telunjuk dan jempolnya untuk mengetahui tekstur lendir itu. Kemudian ia mencium baunya, baunya busuk jika dicium lebih dekat. Ia juga mendengar tetesan-tetesan lendir kental itu dari langit-langit, tetesan yang lambat.
Menurut Jihan, lorong bawah tanah itu tidak terlalu buruk. Seperti memang di buat sebagai jalur cepat menuju suatu tempat. Entah itu pertambangan, atau hanya sekedar lorong. Jihan memastikan bahwa lorong ini bukanlah jalan buntu, jika Iya, mengapa lorong itu memiliki lebar yang sama selebar dua orang.
“Toni…” panggil Okki.
“Jihan… Jihan pergi.” Toni menoleh menerka maksud Okki.
“Pergi?” tanyanya sembari berjalan mendekat. Dewangga juga berhenti mengotak-atik kunci. Mereka meyadari Jihan pergi menuju kegelapan sana.
Jihan berjalan kembali menyusul teman-temannya. Tidak terasa, ia sudah berjalan sejauh dua ratus meter. Ia meraba-raba dinding lagi.
“Jihan…Jihan…” Panggil Toni dengan nada keras dan cemas.
“Aku disini.” Jihan menjawab, suara mereka saling memantul. Mereka berjalan menyusul Jihan, Jihan melihat gerak-gerik cahaya senter dari kejauhan.
“Apa yang kau pikirkan?” Toni marah padanya.
“Lorong ini memiliki ujung, tidak buntu. Apa--” belum menyelesaikan kalimatnya, Atena memotong.
“Apa kamu menyuruh kita berjalan kesana?”.
Jihan mengambil senternya dari tangan Dewangga seraya berkata
“Lihat!” dia mengarahkan senternya ke dinding tanah.
“Lorong ini dibuat tidak lama, mungkin baru beberapa tahun lalu. Tanah ini adalah bekas cangkulan, manusia membuat ini secara manual.” Jelasnya, semua menatap dinding tanah.
“Apa kau berpikir, para penyintas yang membuat ini?” tanya Toni.
“Tepat, ini semacam jalur pelarian ke kaki gunung.” Jawab Jihan.
“Bagaimana dengan tengkorak-tengkorak itu?” Okki masih ragu.
“Mungkin saja, mereka meninggal karena kelaparan.”Jihan meyakinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAJANAMI [ON GOING]
Ficțiune științifico-fantasticăKehancuran sedang melanda dunia dengan datangnya berbagai bencana dan virus mematikan bernama Sufal. virus yang akhirnya bermutasi menjadi ganas. membuat kesadaran manusia perlahan hilang, kemudian menjadi manusia kanibal dan berakhir menjadi monste...