Pemandu Jalan

18 4 0
                                    

Setelan moment menegangkan yang menyambut pagi, Dewangga merasa ter-usik oleh antivirus yang dibawa oleh Jihan. ‘Apa misi Jihan sebenarnya?’ ‘Antivirus itu… dia tidak seperti yang aku pikirkan.’ hatinya bergumam sendiri duduk di ujung goa sembari menatap Jihan yang sedang membereskan perlengkapannya.

“Okki, apa yang terjadi?” Tanya yosep yang telah sadar dan kebingungan.

“Tidak ada apa-apa, bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit?”

“Aku merasa baik-baik saja seperti bangun dari mimpi. Tapi… aku masih ingat kemarin monster itu menggigit leherku” ia mengusap lehernya, luka gigitan itu sudah mengering. Sementara yang lain terdiam.

“Benarkah aku tidak kenapa-kenapa?” tanyanya masih kebingungan.

Mereka turun dari tebing setelah Yosep sadar dan membaik, sebelum itu Jihan mengatakan pada yang lain bahwa; ia akan membawa mereka berjalan menuju barat melewati kaki pegunungan.

Cuaca hari itu sangat terik tidak seperti biasanya yang cenderung berawan, padahal mereka berjalan tidak jauh dari kaki gunung Ciremai yang seharusnya ber-udara sejuk. Hal itu membuat tenggorokan mereka kering, sedangkan semua air sudah habis. Mereka berhenti di lembah yang terbuka setelah berjalan beberapa jam, Okki mengeluarkan botolnya yang terbuat dari bahan stainless. Ia menenggak botol kosong, hanya setetes air yang jatuh setelah mulutnya menganga menunggu beberapa detik. Sementara Yosep tertunduk lesu karena kondisinya memang belum sepenuhnya pulih.
Dewangga mengeluarkan botol dari dalam ransel, masih ada tersisa beberapa teguk ketika ia memeriksa dengan menggoyangkannya.

“Jihan… minumlah!” katanya sembari menyodorkan botol.

“Bagaimana denganmu dan yang lain?” Tanya Jihan merasa tidak enak jika hanya dirinya yang bisa minum.

“Sebentar lagi pasti kita akan menemukan sungai,” bujuk Dewangga.

Sementara Athena melirik tidak suka mengapa hanya Jihan yang ditawari, mengapa tidak dengannya.
Setelah satu tegukan mengaliri tenggorokan Jihan yang kering, ia menyerahkan botol itu ke Athena.

“Masih ada, ini.” Lengannya mengulurkan.

“Aku tidak haus, habiskan saja!” jawabnya berpura-pura.

“Ya sudah, aku berikan pada Yosep.” Jihan berdiri, lalu melangkah ke arah Yosep yang duduk agak jauh.

“Minumlah!” Jihan duduk di samping Yosep.

Setelah minum, Yosep bertanya. “Jihan, apa alasanmu menyelamatkanku? Bukankah waktu di markas mbalelo aku sudah bersikap tidak ramah padamu?”

“Untuk sikapmu di mbalelo, aku sudah lama melupakannya. Tidak ada alasan yang spesial, aku hanya tidak ingin kau berubah menjadi monster dan memakanku.”

“Tapi… kata Okki waktu meninggalkan goa, antivirus itu adalah benda rahasia dan berharga yang menjadi banyak incaran orang. Sehingga kau tak ingin memberitahu kita sejak awal.”

“Sudahlah, Yos. tidak perlu membicarakan alasannya lagi. Yang terpenting saat ini kita bisa menemukan jalur aman ke Rajanami.” Jihan menghembuskan nafas, meniup rambut yang terurai di depan wajahnya.

Pada saat Jihan berbicara dengan Okki, Toni merasa ada yang sedang mengawasinya dari kejauhan. Berjarak duaratus meter, berdiri pohon puspa dengan lebar seukuran tubuh manusia. Ia merasa seseorang bersembunyi dari balik pohon tersebut. Toni membuka tali senapan yang dislempangkan di punggungnya. Ia berjalan dengan posisi siap menembak tanpa memberitahu yang lain.

“Ton, kau mau kemana?” tanya Athena yang pertama kali menyadarinya.

Mata Toni sangat jeli bagai burung elang. Ia mampu melihat hal-hal detail dalam pergerakan cepat. Seperti bayangan tubuh orang mencurigakan di balik pohon pun ia mampu merasakan keberadaannya walau sebenarnya bayangan itu tidak terlihat sama sekali. Dan, pada saat orang itu bergerak sedikit saja, Toni akan langsung melepaskan tembakan untuk menakut-nakuti apabila itu hanya orang, jika monster, ia akan langsung memecahkan kepalanya.
Toni semakin mendekati pohon, ada ekor baju berwarna coklat terlihat menyangkut di retakan kulit kayu. Toni sangat yakin orang itu berbahaya walau bukan monster, bisa jadi ia suruhan Mbalelo atau orang-orang yang mengejar mereka ke terowongan bawah tanah rel kereta. Sementara Dewangga segera mengambil senapan yang terkalung di bahunya, ia tak ingin kedua kalinya monster memangsa teman-temannya lagi, terutama Jihan.

RAJANAMI [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang