Kota Terakhir

83 53 13
                                    

Toni kembali saat petang dari kepergiannya mencari rumput sebagai alas tidur malam nanti. Ia langsung menata goanya dengan rerumputan sebagai peredam hawa dingin. Guntur menyambar pada hujan pertama di musim yang datang baru saja. Toni segera menggali lobang saluran air di depan goa kecilnya dengan sebilah pisau. Agar air tersebut tidak masuk ke dalam. Sementara toni dalam guyuran gerimis, jihan menyenterinya dengan lampu kepala dari dalam goa.

“Ngomong-ngomong darimana kau dapatkan itu? Kau mencurinya?” dalam remang cahaya api unggun kecil toni bertanya.

“Apa?” jihan bertanya balik.

“Sentermu.”

“Tidak, aku membawanya dari rumah.”

“Bagaimana bisa batreinya bisa bertahan selama itu, apakah kau juga mencuri batrei dari toko-toko?”

“Mengapa kau selalu bilang aku mencuri?”

“Waktu kau tiba-tiba menodongkan senapan padaku, itu sangat menakutkan.”

“Aku tidak hanya menakutkan. Aku bisa membunuhmu jika kau macam-macam padaku. Lagipula, itu tidak bisa dikatakan mencuri. Banyak tempat yang ditinggalkan termasuk toko-toko itu. Jadi toko-toko itu tidak memiliki pemilik lagi. lebih tepatnya aku memungut bukan mencuri.”

“Sudahlah, ada baiknya kita bekerja sama dari pada terus saling mengancam. Ini makanlah!” toni memberikan daging burung yang diburunya sore tadi.

Sementara hujan masih mengguyur deras di luar. Membungkus malam dan sintruhnya belantara.

◼◼

‘Tek, tek, tek.. bunyi suara benturan benda tumpul pada kayu membangunkan jihan pagi ini. Dari kejauhan, jihan melihat toni sedang memotong-motong kayu. Dia bangun dari tidurnya yang cukup lelap berkat selimut hangat toni yang diberikan padanya.

Jihan berjalan ke bibir sungai guna membasuh wajahnya. Rasanya sudah lama sekali ia tak mandi dengan sabun serta air hangat. Rambutnya kumal terikat penuh kotoran. Ia membuka ikat rambutnya, pun dengan jaket dan sepatunya. Jihan hanya memakai kaos lengan pendek berwarna hitam dan bercelana hitam pula. jihan menyeburkan diri ke dalam sungai.

Rambutnya yang kumal ia gosok-gosok tanpa shampoo. Setidaknya kotoran dirambutya luntur walau tak semua menghilang. Toni sesekali melirik jihan sembari menggores ujung kayu hingga membentuk runcing.

Selesai bermandi, jihan kembali ke dalam goa untuk mengambil handuk kecil serta buku catatan ayahnya. Di bawah sinar matahari yang hangat, ia berjemur. Jihan kembali membuka kembali halaman-halaman penting untuk mengingat barangkali suatu saat dalam perjalannannya ia kehilangan buku itu.

Pada awal kedatangan dr johan di Kota Terkahir, ia melakukan semacam tour keliling kota sebagai penghuni baru. Ia mengrimi saya sebuah surel. Tidak kurang tidak lebih, begini isinya;

‘Kota terakhir dibangun diatas tanah seluas 120 Hektar. Seluruh kota dilindungi oleh sungai buatan dan tembok setinggi tiga puluh meter mengelilingi perbatasan kota. Terdapat puluhan pos jaga di titik-titik vital.

Taman nasional Ujung Kulon berubah layaknya kota metropolis. Dibagi atas distrik-distrik berdasarkan kategori kasta dan lingkup profesi.

Distrik satu; adalah pusat pemerintahan kota. Posisinya persis berada di tengah-tengah Kota.

Distrik dua; adalah pusat bisnis. Konglomerat, pengusaha, dan mantan pengusaha batu bara beserta orang-orang kaya semua berkumpul disana. Tidak ada yang lebih berkuasa dari siapaun dari perkumpulan orang ini. Bahkan pemerintah kota harus tunduk. Maklum saja merekalah yang menciptakan kota itu dengan dana ratusan triliun rupiah.

Distrik tiga; adalah rumah bagi para ilmuwan, saintis, dan para dokter. Disinilah saya tinggal Prof.

Distrik empat; adalah markas militer.

Distrik lima; adalah kawasan penduduk sipil yang mampu membayar kontrak hingga sepuluh tahun kedepan. Banyak dihuni kalangan artis dan keluarga pejabat.

Distrik enam; adalah kasta rendah. Mereka adalah para petani, pekerja kasar. Mereka tidak dibebani biaya hidup asal mau menjadi buruh.

Distrik tujuh; orang pinggiran. Mereka adalah para nelayan.

Seluruh distrik dihubungkan dengan kereta, tidak ada kendaran motor. hanya kalangan konglomerat yang menaiki mobil listrik.

Darimana mereka bisa mengaliri listrik seluruh kota setelah batubara berhenti di distribusikan ke jawa?. Mereka membuat pembangkit listrik bertenaga angin. Kincir-kincir raksana ditancapkan sepanjang garis pantai selatan. Dalam keadaan darurat, mereka juga memasang panel surya di banyak tempat.

“Apa itu?” Toni memergoki jihan yang sedang serius membaca ulang halaman surat surel dari dr johan. Jihan kaget tak menyadari kehadirannya dan langsung menutup buku.

“Sejak kapan kau berdiri dibelakangku?”

“Baru saja, tak perlu khawatir aku tak mengintip isi buku harianmu.”

“Bagus, sebaiknya jangan pernah berniat membaca buku pribadiku ini.”

“Sudah, Jangan menganggap aku musuhmu lagi. ini…” toni memberikan sebuah tombak sepanjang satu meter.

“Untuk apa?”

“Aku akan mengajarimu cara berburu ikan.”

Jernihnya air sungai mampu menembus pandangan mata. Gerak-gerik ikan di dalamnya menari berputar-putar membuat toni harus fokus membidik. Ia mulai menombak ikan. Dengan mudah,  ikan sebesar telapak tangan tertancap di ujung tombak.

“Sekarang giliranmu!” kata toni.

Jihan menarik nafas panjang sebelum memulai. Butuh waktu cukup lama untuk membidiknya. Dalam hitungan ke-tiga dalam hati, ia meluncurkan tombak dengan kuat. Namun pada percobaan pertama ini ia gagal mengenai ikan. Dengan lincah si ikan berenang menghidari. Pada percobaan kedua, ujung tombak hanya mampu menyenggol ekor si ikan lantas tombak menancap di dalam air.

“Bagaimana, menyerah?” tanya toni menggoda jihan agar segera menyerah saja.

“Tidak, akan kucoba lagi.” Tidak mungkin jihan menyerah begitu saja. Baginya ini sama saja seperti saat berlatih memanah atau menembak dulu. Sekali, dua kali bahkan berulangkali gagal. Selebihnya latihan dengan gigih kemapuannya makin terasah. Diusia limabelas tahun saja ia sering menghilang ke lereng gunung kawi untuk berburu atau diusia delapan belas ia melakukan simulasi menembak dengan skor 99 hampir sempurna.

Bila target biasanya bergerak di udara, kini target bergerak di dalam air. Pada massa yang berbeda jenis, kecepatan luncuran yang dihasilkanpun juga berbeda akibat dipergaruhi tekanan air. Oleh karena itu, jihan membidik ulang dengan mengira-ngira kecepatan luncurannya.

Pada percobaan ketiga, runcing tombak menancap tepat pada si ikan. Jihan tersenyum lebar, memperlihatkan dua gigi kelincinya. Ini adalah senyum pertama yang dilihat oleh toni, senyum pertama semenjak berpisah dengan ayahnya. Toni pun ikut tersenyum lebar sembari memuji.

“Untuk ukuran pemula, kamu cukup cepat belajar menombak.” Tangan kanan toni menepuk bahu jihan.

“Terima kasih.” ia baru sadar ternyata memang sikapnya kepada toni terlalu dingin dan jutek.

“Kamu bisa juga mengucapkan terima kasih dibalik sikapmu yang dingin."
Jihan tidak menjawab, Toni buru-buru melepas tangannya setelah memandang kedua bola mata coklat jihan cukup lama.

Dua bulan hidup seorang diri di dalam goa kecil membuat toni berada diambang frustasi. Ayahnya menghilang, anggota keluar yang lain meninggal akibat sufal, teman dan sahabatnya entah kemana. Sungguh betapa banyak ia mengalami kehilangan. Barusaja ia mampu membuat orang lain tersenyum. Senyuman manis seorang gadis. Kehadiran jihan telah mengisi kembali kekosongan jiwa hampanya.

“Aku ingin mencobanya lagi, kira-kira berapa banyak kah yang kita butuhkan?” candu menombak ikan telah menghibur pagi nan cerah milik mereka berdua.

“Hari ini menu kita adalah ikan, pagi ikan, siang ikan, malam juga ikan, bahkan dua hari kemudian kita masih bisa menyimpan ikan. Tidak ada nasi, tidak ada sambal.”

“Jadi ikan ini masih enak tiga hari?”

“Ya, itu masih enak dari pada bangkai ikan berusia empat hari.” kata toni yang sudah sangat bosan setiap hari hanya memakan ikan.

“Kau… punya alat memasak nasi?” jihan bertanya pada toni yang tengah berhasil menombak tiga ikan lagi.

“Ya ada. Aku dulu hobi menjelajah alam liar, aku selalu membawa peralatan memasak. Tapi bagaimana kita bisa mendapat beras?”

“Akan aku tunjukkan bagaimana caranya. Nanti diperjalanan.”

“Merampok petani?”

“Apa aku terlihat seperti seorang perampok?”

“Mungkin saja.”

‘Jus … tombal jihan menancap lagi di tubuh si ikan.

“Kau semakin mahir saja.” puji toni lagi.

Mereka berjalan kembali menuju goa dengan hati berbunga setelah banyak ikan didapat. Siapa sangka toni mengajari jihan menombak ikan, siapa sangka pula dari menombak senyumnya mampu merekah.

“Berhenti!” toni mengangkat tangan kirinya menghalangi jalan jihan agar jihan berhenti melangkahkan kakinya. Suara obrolan pria dewasa terdengar mendekat oleh toni. Indra pendengarannya sangat peka. Para pria itu menuju bibir sungai dekat goa persembunyian toni. Mereka berdua yang menyadari hal itu saling menatap. Lantas toni menarik lengan jihan. Ia segera menyembunyikan badannya di balik pohon terdekat. Jihan jatuh di pelukannya. Jihan tak mampu menolak, pohon yang melindungi tidak cukup besar.

Bibir tipis toni menempel di kening jihan. Jihan ingin memukul toni yang lancang, namun apa daya jihan tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus tetap diam, jangan sampai para pria di sungai mengetahui keberadaan mereka. Sementara toni tidak menyadari apa yang tengah dilakukannya, memeluk jihan, bibir yang menempel, tentu ia tidak bermaksud senonoh. Ia bermaksud melindungi jihan.

Sayup-sayup suara para lelaki itu terdengar oleh toni. Ia meruncingkan telinganya agar mampu mendengar percakapan mereka.

“Ketua kolompok bilang kita harus lebih berhati-hati saat keluar seperti ini. Virus itu sudah bermutasi menjadi lebih ganas. Orang-orang yang terinfeksi berubah menjadi gila dan brutal. Bahkan ketua melihat dengan mata kepalanya sendiri orang-orang yang terinfeksi di kota menjadi kanibal” Salah satu pria itu berkata.

Bibir toni tidak lagi menempel di kening jihan, ia mengintip dengan ekor matanya bahwa pria-pria itu sedang menimba air di sungai. Mereka membawa galon-galon besar sebagai penampungan. Yang membuat toni terkejut adalah pembicaraan mereka mengenai mereka yang terinfeksi berubah menjadi kanibal.

“Kita harus segera kembali, saya khawatir para kanibal itu menyerang kita.” Ujar salah satu pria.

Para pria berjalan kembali melewati pohon dimana toni dan jihan bersembunyi. Dalam masih posisi memeluk, toni menggeserkan badannya kesisi lain saat para pria itu lewat di depan mereka, otomatis jihan juga bergerak. Para pria itu menghilang di rerimbunan. Toni dan jihan bernafas lega. Dalam keadaan kesal jihan menginjak kaki toni dengan kencang.

“Aw… “ seketika toni melepaskan lengannya.

“Kau mencari-cari kesempatan?” toni sedikit kebingungan apa maksud jihan. Tak lama ia menyadari apa yang telah dilakukannya.

“Oh, aku tidak bermaksud seperti itu.”

“Jelas kau menempelkan bibir dikeningku. Apa itu tidak sengaja?” jari-jari kaki toni berbalut sandal lusuh memerah kesakitan.

“Aku hanya ingin melindungimu. Seharusnya yang kau salahkan pohon ini mengapa dia terlalu kecil. Dia memaksa kita untuk berdekapan.”

“Jika kau melakukannya sekali lagi, aku akan membunuhmu!” jihan mengambil tombak ikannya di atas tanah, kemudian berjalan meninggalkan toni.

“Hei… Jihan… aku tidak bermaksud...” Teriaknya dari belakang membela diri akan tetapi jihan tak menghiraukannya melenggang menuju goa.

◼◼◼

Publish 29-7-2020

RAJANAMI [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang