Orang Asing Yang Baik Hati

68 47 7
                                    

Setelah beres mengemas barang-barang. Jihan dan toni memulai perjalanan. Jihan membuka kompasnya, ke arah baratlah meraka akan melangkah. Sepanjang jalan jihan terdiam, dia mulai teringat kembali dengan sang ayah. teringat masa kecil yang indah bersama sang ayah.

Ayah, aku berhasil mengalahkan ayah’ suara masa lalu saat remaja itu berada di pikirannya. ‘Babi incaran ayah mengenai panahku’.
Hebat putriku’ balas sang ayah dipikirannya.

Burung-burung berkicau di balik-balik pohon ‘Ayah, ajari jihan membuat panah. Jihan ingin berburu burung dengan panah jihan sendiri’.

Jihan melihat salah satu burung terbang melintas dihadapanya
Ayah, jihan berhasil memanah dengan panah buatan jihan sendiri’ anak panah, busur, ya jihan memikirkan panahnya yang jatuh diperjalanan saat dikejar-kejar manusia kanibal.

Jihan, jangan menghilang lagi ke lereng gunung.’ Pekik ayah dalam pikirannya. ‘Jihan hanya berburu yah’.

Kau memang tak kenal takut persis bundamu.’Ayah tunggu…'. Mengapa dipikirannya sang yang berkata tunggu. ya, ayahnya sedang menunggu disebuah kota bernama Rajanami atau orang-orang lebih banyak menyebutnya sebagai Kota Terkahir. Sebuah simbol harapan diantara reruntuhan kehancuran.

Ketika pikirannya dipenuhi dengan memori-memori bersama sang ayah, hutan yang di lintasinya telah habis. Sejak tadi ia seperti menuruni sebuah bukit. Di depannya terbentang daratan kering yang luas sejauh mata memandang, tak satupun pohon tumbuh disana. Garis pandang terjauh yang ia lihat masih sama, berupa dataran bak di gurun pasir. walau semalam hujan pertama mengguyur, tanah di daratan itu nampak kering membentuk pecahan-pecahan puzzle tak beraturan.

Jihan berhenti di tepian batas antara hutan dan daratan. di belakang dan di depannya bagai dunia yang berbeda, tak satupun burung terlihat terbang di atas daratan itu, atau manusia yang barangkali melintas. Hanya ada angin berhembus melontar-lontarkan hawa panas. Menerbangkan debu-debu.
Jihan menaungi matanya, memfokuskan penglihatan, tetap saja ia tak melihat hutan atau perkampungan. Sementara, Toni berdiri berdecak tak percaya apa yang di depannya.

JIhan mengambil kompas yang dikalungkannya di leher. Ia memeriksa arah barat. Disana, di pandangan terjauhnya arah barat, sedangkan matahari masih di belakangnya.

“Apakah kita harus melintasi daratan itu?” tanya toni.

“Iya.” jawabnya singkat.

Jihan berjalan lebih dulu, toni mengikuti dari belakang. Panasnya terik matahari membuat gerah, jihan melepaskan jaket coklat lusuhnya lantas dimasukkan ke dalam ransel. Ia membiarkan kulit putihnya terpanggang matahari. Peluh keringat mengalir di dahi, dan seluruh badannya. Ia merasakan kembali kaki nya yang melepuh, ia lupa membalutnya lagi. sedikit nyeri, namun pentingnya menyelesaikan daratan ini lebih penting. Ia tak mengeluh sedikitpun. Walau toni melihat kakinya melangkah sedikit terpincang-pincang.

Matahari semakin meninggi dari timur, seperti tepat diatas kepala mereka. Panasnya menjadi-jadi. Membuat tenggorokan mengering. Sesekali mereka berhenti untuk minum, lalu menutup wajah mereka dengan kain saat angin berhembus membawa debu.

“Jihan, kau baik-baik saja?” Toni bertanya khawatir.

“Ya ton, aku baik-baik saja.” Jawabnya bohong. Kakinya semakin perih, dia rasa darah merembes lagi di dalam sepatu.

“Kakimu seperti tidak baik-baik saja.”

“Aku tak apa, ini hanya pegal.” Jihan tak pandai berbohong, jelas-jelas kakinya mengalami sesuatu.

Sudah berjam-jam berjalan, namun tak kunjung terlihat juga pemandangan lain di ujung selain daratan kering. entah bagaimana daratan ini terbentuk. Apakah bencana ini mengubah bentuk bumi, mengubah negara yang subur ini berubah bak padang pasir. Pikiran-pikiran itu berlari-lari diantara rasa sakit.

“Sebaiknya kita istirahat dulu.” Ucap Toni.

Mereka berhenti. Jihan mengelap keringat dengan lengannya yang telah di lumuri debu. Sedangkan toni mengambil tombak dari saku ransel. ia tancapkan tombak tersebut di sela-sela retakan tanah. Selimut berbahan kain katun yang menemaninya selamam kini ia ikat dengan tali sepatu pada ujung tombok.

“Duduklah di bawah disini, aku akan memeriksa kakimu.” Perintah toni kepada jihan.

“Tidak perlu, kakiku baik-baik saja.” Jihan tak ingin memperlambat perjalanan, sehingga ia berpura-pura tidak kesakitan. Jihan duduk menyender ranselnya.

RAJANAMI [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang