Tujuh

97 21 29
                                    

Katanya mimpiku kan terwujudMereka lupa tentang mimpi burukTentang kata "Maaf, sayang aku harus pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Katanya mimpiku kan terwujud
Mereka lupa tentang mimpi buruk
Tentang kata "Maaf, sayang aku harus pergi."
Sudah kuucap semua pinta
Sebelum kumemejamkan mata
Tapi selalu saja kamu tetap harus pergi

(Rumpang, Nadin Amizah)
___

Hongdae akan selalu menjadi tempat favorit bagi Arra. Sebab, dengan beragam pertunjukan yang siap disuguhkan dan memanjakan mata, hingga membuat bentuk bulat di bibir manusia yang melihatnya.

Setiap akhir pekan, langkah Arra begitu membara untuk bergegas menuju panggung yang sebetulnya tidak bisa dianggap panggung. Gadis itu akan menyeret pengeras suara dan peralatan lain untuk disambungkan agar sesiapa bisa mendengar alunannya.

Kaus polos kebesaran, ripped jeans, dan kemeja yang dililitkan di pinggang adalah salah satu tradisi yang pantang ketinggalan. Sore itu, Breathe milik Lee Hi menjadi opsi terbaik untuk Arra. Membuat langkah yang semula tergesa menjadi melambat dan akhirnya berhenti untuk sekadar mendengar Arra bernyanyi.

Ia hanya akan menyuguhkan dua judul lagu, lalu kembali pulang. Sebab, hari itu ada banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan.

"Menarik." Ada tepukan riuh terdengar, padahal 3 menit lalu penonton telah resmi membubarkan diri. "Aku menyukai suaramu."

Arra setengah mendongak, menghentikan aktivitasnya yang sedang membereskan peralatan. "Min Seokjin." Rupanya seorang pemuda sudah berada di hadapan Arra dengan menjulurkan tangan. "Siapa namamu?"

Binar mata Seokjin membuat seulas senyum terlukis di wajah Arra, lalu ia berseru satu kata menyebut namanya. Dan semenjak sore itu, keduanya selalu dipertemukan di akhir pekan selanjutnya.

"Kau tahu Ra? Mengapa malam gelap?" Di sela-sela japchae siap masuk ke mulut untuk dikunyah, Seokjin melontarkan pertanyaan. "Pertanyaan bodoh, Kak."

"Hei, jawab dulu. Baru makan." Akhirnya Arra menyerah, melepaskan sendoknya dan mulai menjawab sekenanya. "Sebab matahari sedang pergi ke daerah lain."

Seokjin menghela napas, lalu menggeleng tak puas atas jawaban Arra. "Lalu apa yang benar?"

"Kau tidak salah."

"Aish!" Satu-dua pukulan berhasil Seokjin dapatkan. "Menyebalkan!"

"Entah malam atau siang, hariku tetap gelap."
Nada bicara Seokjin sedikit tercekat. "Aku ingin sekali bertemu Ibu, lalu mempertemukannya dengan Yoongi. Agar ia tidak lagi diselimuti kesedihan."

Arra tertegun, ia tahu kalau sudah lama Seokjin tidak lagi bertemu dengan ibunya semenjak pemuda itu kembali menginjakkan kakinya di rumah utama. Namun, untuk Yoongi, Arra belum pernah mendengarnya. Sebab, Seokjin baru pertama kali menyebut nama itu.

"Yoongi? Siapa Yoongi?"

"Seseorang yang sangat aku sayangi." Pemuda itu tanpa sadar tersenyum, "Walau dia sedikit bawel dan keras kepala."

ʟᴀᴄʜʀʏᴍᴏꜱᴇ [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang